Benarkah Sistem Proporsional Terbuka Biang Kerok Lahirnya Korporasi Oligarki?
Parpol sedang berseteru dan berdebat dalam urusan  sistem  pemilu. PDI P adalah partai  yang sangat getol memperjuangkan sistem pemilu proporsional tertutup. Asumsi dasar jika sistem pemilu saat ini memicu terjadinya liberalisasi politik dan permainan politik oleh oligarki.
Sementara Nasdem ,Demokrat melirik sistem proporsional pantas  dipertahankan  dalam pemilu 2024 karena akan melahirkan para Caleg yang dikenal dan mengajar. Tidak membeli kucing dalam karung . Wacana diberlakunya sistem tertutup kembali merupakan kecelakaan sejarah bakal terulang kembali .
Pertanyaannya., mengapa partai politik  berbeda cara pandang dan sikap dalam menyoal sistem pemilu  yang akang digunakan ? Faktor apa saja yang mereka  perjuangkan terhadap pemberlakuan  dan dampaknya pada satu sistem pemilu ?
 Dua hal mendasar perbedaan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup terletak pada objek yang dipilih.
 Dalam sistem proporsional tertutup memilih langsung wakil legislatif ( DPR) dimana pemilih hanya memilih partai politik saja. Sementara sistem proporsional terbuka pemilih memilih langsung calon individu yang akan mewakili sebagai legislator.
Pro dan kontra terjadi perdebatan sengit sedang terjadi  menjelang kontestasi pileg 2024, salah satu isunya  berkaiatan sistem pemilu yang ideal dan memenuhi kekinian aspirasi menyeluruh stage holder.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua KPU Hasyim Asyari (29/12/2022),mengimbau untuk bakal Caleg tidak melakukan kampanye dini seperti pemasangan atribut kampanye ( baliho foto Caleg ) karena belum ada keputusan mengikat sistem pemilu  yang akan diberlakukan di pileg 2024.
Hal ini menandakan  jika aturan sistem pemilu belum final dan mengikat, sedang menunggu proses hasil proses somasi ke Mahkamah  Konstitusi yang sedang digugat oleh anggota ,masyarakat dan Caleg.
Pro dan Kontra sistem Pemilu
Beberapa argumentasi yang mendukung diberlakukannya sistem pemilu proporsional tertutup. Pelaksanaan sistem proporsional terbuka dipakai dalam pemilu legislatif tahun 2004,2009,2014 dan 2019.
Sementara sistem proporsional tertutup dipakai pertama kali menjalankan pemilu paska kemerdekaan  tahun 1955,Orde Baru dan pemilu bertepatan kelahiran orde reformasi 1999.
Permohonan yuridis diberlakunya kembali sistem proporsional  tertutup mengacu pada frase pasal 22E  ayat 3 UUD 45 yang jelas menegaskan bahwa peserta pemilu adalah partai politik bukan individu.
Dari sisi teknis, adanya pembenaran jika sistem pemilu proporsional terbuka harus menelan banyak korban yakni melimpahnya suara yang tidak syah akibat salah coblos,rusak atau tidak dicoblos sama sekali. Lembar kertas suara terlalu banyak dan banyak gambar dan penorehan partai ataupun Caleg.
Banyak gambar dan kertas suara serta terbatasnya waktu untuk pencoblosan membuat pemilih bingung, linglung dan bahkan putus asa dalam memilih.
Akhirnya mencoblos Caleg dengan tergesa-gesa berakhir dengan banyaknya suara yang rusak karena pencoblosan ganda ,tidak tercoblos atau sama sekali tidak dicoblos karena pemilih dalam kondisi stres.
Catatan statistik ,pada pemilu 2019 terdapat suara tidak sah sebesar 17,5 juta atau 11 persen dari daftar pemilih tetap tercatat oleh KPU.
Kudeta Kedaulatan Partai
Terdapat berbagai ruangan  lingkup aspek politik dan teknis yang memperkuat argumentasi yang mendorong permintaan berbagai pihak  digantikannya sistem pemilu proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup.
Bagi kalangan yang mendukung sistem proporsional terbuka, mereka dikecam karena sistem proporsional terbuka telah  mengkudeta kedaulatan rakyat sesungguhnya.
Proporsional terbuka tolok ukur pencapaian suara terbanyak dan telah melahirkan banyaknya Caleg pragmatis yang lebih menonjolkan popularitas dan kekayaan finansial.
Bibit dan bobot caleg diperkaya oleh unsur materialialiatis bukan ideologis.Caleg sangat jauh dari ikatan  rahim ideologi atau persilangan ideologi partai.
Tidak ada kecakapan organisasi dan minimnya pengetahuan dan pengaman politik yang harusnya mereka dapatkan melalui pendidikan di struktur partai atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibat terjadinya liberalisasi dan pragmatisme para caleg yang bersaing memperebutkan suara sehingga mereka secara brutal mengalahkan kader partai tulen yang sudah lama berkarier dan menjadi kader partai ideologis.
 Hanya Caleg yang banyak amunisi finansial akan memenangkan pencalegan dan bahkan meninggalkan dari pengaruh dan legitimasi partai sendiri.
Krisis Legitimasi
Konsekuensi logis jika Caleg tersebut setelah menjadi anggota dewan baru  akan lebih banyak diwarnai identitas diri dan lebih mengamankan kepentingan pribadinya dari pada sekedar bekerja sama dengan partai dan berbagi kue.
 Caleg tersebut secara langsung melemahkan kelembagaan partai itu sendiri. Dampak politis legitimasi kelembagaan dan elite partai tidak terakui dan terlegitimasi secara utuh.
Partai akan sepenuhnya dalam kondisi bahaya dan kesulitan dalam berinteraksi dan proses pengendalian anggota dewan jadi tersebut. Bahayanya jika anggota legislatif yang ada lebih banyak terlahir dari pencalegan pragmatisme dari golongan loyalis ideologis.
Para anggota dewan baru baik individu atau kolektif( faksi) secara brutal mengedepankan egoisme dan sulit beradaptasi dengan aturan partai, cenderung meninggalkan platform partai.
 Parai pun sudah tidak sanggup mengendalikan kendati mempunya senjata pamungkas PAW ( pengganti antar waktu) karena kuatnya infrastruktur keuangannya dan bahkan berani melakukan pembangkangan dan kudeta organisasi.
Anggota dewan baru tersebut mempunya potensi kuat mengganti struktur partai dengan cara mengatur dan mengondisikan penggantian kepengurusan yang dianggap menghambat atau mengekang eksistensinya di habitat baru wilayah kepartaian.
Sadisnya jika mekanisme UU kepartaian belum menjamin tata kelola persaingan diinternal partai.Â
Belum adanya  revisi UU Parpol yang mengatur mekanisme persaingan dan penyelesaian sengketa internal partai dan pada akhirnya terdapat celah kekosongan aturan dan dimanfaatkan oleh penguasaan oligarki melalui pimpinan parpol.
 Kartel oligarki memborong jatah kuota Caleg partai per dapil. Oligarki ada akhirnya menunjukkan dan memilihnya siapa yang akan menjadi pemimpin partai secara suka -suka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H