Tidak ada kecakapan organisasi dan minimnya pengetahuan dan pengaman politik yang harusnya mereka dapatkan melalui pendidikan di struktur partai atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibat terjadinya liberalisasi dan pragmatisme para caleg yang bersaing memperebutkan suara sehingga mereka secara brutal mengalahkan kader partai tulen yang sudah lama berkarier dan menjadi kader partai ideologis.
 Hanya Caleg yang banyak amunisi finansial akan memenangkan pencalegan dan bahkan meninggalkan dari pengaruh dan legitimasi partai sendiri.
Krisis Legitimasi
Konsekuensi logis jika Caleg tersebut setelah menjadi anggota dewan baru  akan lebih banyak diwarnai identitas diri dan lebih mengamankan kepentingan pribadinya dari pada sekedar bekerja sama dengan partai dan berbagi kue.
 Caleg tersebut secara langsung melemahkan kelembagaan partai itu sendiri. Dampak politis legitimasi kelembagaan dan elite partai tidak terakui dan terlegitimasi secara utuh.
Partai akan sepenuhnya dalam kondisi bahaya dan kesulitan dalam berinteraksi dan proses pengendalian anggota dewan jadi tersebut. Bahayanya jika anggota legislatif yang ada lebih banyak terlahir dari pencalegan pragmatisme dari golongan loyalis ideologis.
Para anggota dewan baru baik individu atau kolektif( faksi) secara brutal mengedepankan egoisme dan sulit beradaptasi dengan aturan partai, cenderung meninggalkan platform partai.
 Parai pun sudah tidak sanggup mengendalikan kendati mempunya senjata pamungkas PAW ( pengganti antar waktu) karena kuatnya infrastruktur keuangannya dan bahkan berani melakukan pembangkangan dan kudeta organisasi.
Anggota dewan baru tersebut mempunya potensi kuat mengganti struktur partai dengan cara mengatur dan mengondisikan penggantian kepengurusan yang dianggap menghambat atau mengekang eksistensinya di habitat baru wilayah kepartaian.
Sadisnya jika mekanisme UU kepartaian belum menjamin tata kelola persaingan diinternal partai.Â