Sementara sistem proporsional tertutup dipakai pertama kali menjalankan pemilu paska kemerdekaan  tahun 1955,Orde Baru dan pemilu bertepatan kelahiran orde reformasi 1999.
Permohonan yuridis diberlakunya kembali sistem proporsional  tertutup mengacu pada frase pasal 22E  ayat 3 UUD 45 yang jelas menegaskan bahwa peserta pemilu adalah partai politik bukan individu.
Dari sisi teknis, adanya pembenaran jika sistem pemilu proporsional terbuka harus menelan banyak korban yakni melimpahnya suara yang tidak syah akibat salah coblos,rusak atau tidak dicoblos sama sekali. Lembar kertas suara terlalu banyak dan banyak gambar dan penorehan partai ataupun Caleg.
Banyak gambar dan kertas suara serta terbatasnya waktu untuk pencoblosan membuat pemilih bingung, linglung dan bahkan putus asa dalam memilih.
Akhirnya mencoblos Caleg dengan tergesa-gesa berakhir dengan banyaknya suara yang rusak karena pencoblosan ganda ,tidak tercoblos atau sama sekali tidak dicoblos karena pemilih dalam kondisi stres.
Catatan statistik ,pada pemilu 2019 terdapat suara tidak sah sebesar 17,5 juta atau 11 persen dari daftar pemilih tetap tercatat oleh KPU.
Kudeta Kedaulatan Partai
Terdapat berbagai ruangan  lingkup aspek politik dan teknis yang memperkuat argumentasi yang mendorong permintaan berbagai pihak  digantikannya sistem pemilu proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup.
Bagi kalangan yang mendukung sistem proporsional terbuka, mereka dikecam karena sistem proporsional terbuka telah  mengkudeta kedaulatan rakyat sesungguhnya.
Proporsional terbuka tolok ukur pencapaian suara terbanyak dan telah melahirkan banyaknya Caleg pragmatis yang lebih menonjolkan popularitas dan kekayaan finansial.
Bibit dan bobot caleg diperkaya oleh unsur materialialiatis bukan ideologis.Caleg sangat jauh dari ikatan  rahim ideologi atau persilangan ideologi partai.