Mohon tunggu...
Heru Subagia
Heru Subagia Mohon Tunggu... Relawan - Aktivis Kegiatan UMKM ,Relawan Sosial dan Politik
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah media ekspresi tampa batas,eksplorasi dan eksploitasi imajiner yang membahagiakan . Menulis harus tetap bertangung jawap secara individu dan di muka umum. . Hobi menulis disela -sela kesibukan menjaga toko ,mengurus bisnis ,berkegiatan di umkm dan politik dan bisnis. Lingkungan hidup juga menjadi topik utana bagi penulis untuk advokasi publik berkaitan isu isu penyelamatan dan pelestarian alam . Mari kita gemar menulis , mendobrok tradisi ,menambah literasi dan menggugat zona nyaman berbagai kehidupan .

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ganjar Unggul di Pemilih Milenial, Cuma Belum Ada Parpol yang Usung Capres

28 September 2022   06:27 Diperbarui: 28 September 2022   08:55 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Siapa sih yang ngak kenal Ganjar Pranowo,Gubernur Jateng ini baru- baru ini mendapatkan kepercayaan di kaum milenial sebagai Capres 2024 paling disukai . 

Berdasarkan laporan hasil survei CSIS (26/9) Ganjar Pranowo   (33,3%) unggul di pemilih generasi  Z(17-24) dan Milenial ( 24-39), mengalahkan posisi Prabowo Subianto(27,5%)  dan Anies Bawesdan(25,7%). 

Kendati Ganjar Pranowo  selalu unggul elektabilitas berbagai lembaga survei politik,namun Ganjar dan relawannya harus banyak bersabar karena belum ada satupun Parpol atau Koalisi Partai yang secara resmi merekomendasikan menjadi Capres 2024.

 Sulitnya bagi Capres mendapatkan rekomendasikan  dari partai, menjadi pertanyaan kemana saja selama ini, ,sementara Elite Parpol sbuk berdansa, Kok bisa ya ? 

  Walaupun  secara resmi KPU membuka  pendaftaran  pasangan Presiden (Capres) dan Wakilnya(Cawapres) baru dimulai tanggal 19 Oktober -15 November 2023, namun animo masyarakat Indonesia menyambut pesta demokrasi 5 tahunan tersebut disambut sangat antusias dan mendapat dukungan membludak.

Terbentuknya puluhan organ Relawan Capres dari berbagai kelompok  dukungan nama Capres membuktikan dinamika Pilpres sudah mulai menghangat.Tumbuh suburnya organ relawan capres membuktikan jika masyarakat  lebih peduli pilpres dengan-jauh hari sudah mengusung idola capres  yang digandrunginya. Membangkitkan optimisme jika proses demokratisasi berjalan lebih baik dari tahapan Pilpres sebelumnya.

Tentunya banyak nilai positif dengan berkembangnya  relawan dari sisi penguatan masyarakat sipil untuk peduli dan melibatkan  dalam setiap proses politik nasional. Ruangan seleksi kepemimpinan nasional memungkinkan akan banyak melibatkan penyertaan keterlibatan  proses politik dari hulu sampai hilir. Bertindak  aktif melakukan pengawasan serta evaluasi kebijakan penyelenggaraan Pilpres.

Hiruk pikuk masyarakat menggelorakan pencapresan dini sepertinya disikapi dingin oleh elite partai. Sampai saat ini belum ada nama Capres yang mendapatkan rekomendasi  resmi menjadi salah satu pasangan capres di koalisi partai .

Penulis melihat  jika sikap dan cara  pandangan  elite partai tidak lebih mereka memandang sisi keuntungan dan kerugian yang didapatkan ketika memilih dan merekomendasikan  capres tertentu menjadi pasangan resmi yang akan diusung maju pilpres. itu harga mati untuk para  elite partai, pilpres akan dijadikan ladang perjudian politik kekuasaan dan komersialisasi  ekonomi dalam kekuasaan.

Miris sekali jika harus menyimak dan mengamati para pemegang tingkat  tertinggi  di partai elit partai. Partai Politik yang secara formal sebagai lembaga resmi  pelaku utama baik pilpres dan pileg bisa dikatakan lamban atau tidak responsif dengan isu Pencapresan 2024.  

Perlu diingatkan  jika dalam pelembagaan  partai politik didalamnya termasuk banyak kader pemilih dan mereka adalah yang sesungguhnya mempunyai hak kedaulatan untuk memilih dan menentukan sikap dan keputusan politik. Parpol banyak  menahan dan ternyata banyak berdiam diri,menunggu waktu tepat atau memang sengaja menunda keputusan memilih dan mencalonkan Capres lebih awal.

Menurut ketentuan UU No.7 tahun 2017 jika pencalonan presiden dilakukan oleh partai atau koalisi  partai yang telah memenuhi sejumlah persyaratan . Partai harus memenuhi syarat ambang batas presidential threshold 20 persen. 

Tentunya tidak gampang bagi partai yang harus dilakukan untuk memenuhi syarat ambang batas tersebut. hanya dan  partai pemenang Pemilu 2019 dan lolos abang batas presiden masih menahan diri untuk berani mendeklarasikan  Capres  pilihannya.

Partai yang hanya mempunyai kursi di bawah 115 Kursi DPR harus melakukan koalisi. Persoalan koalisi  inilah yang banyak memakan waktu dan pertimbangan . Banyak proses dan pekerjaan politik yang harus dijalankan, rumit,berbelit-beliti dan tidak bisa terukur.

Kepentingan dan perbedaan ideologi partai menjadi hambatan utama melakukan koalisi. Tidak hanya sekedar berkoalisi, partai akan berbicara untung  dan rugi melakukan koalisi baik dalam hitungan keuntungan suara di pileg ataupun suara di pilpres.

Dengan melihat gejala politik  saat ini banyak manuver politik yang dilakukan elite parpol , bisa saja dipahami sebagai jalan menuju koalisi yang diinginkan atau hanya sebatas  menarik perhatian terhadap simpati publik dan sorotan media.

 Rupanya upayanya  hanya sebagai joget dan  berdansa  saja,  komunikasi politik yang mereka lakukan  tidak disain  untuk cepat-cepat menghasilkan keputusan atau kompromi politik. Kendati mereka  sudah deal dalam level keputusan tertentu, rasanya mereka juga masih genit melakukan lobi-lobi politik di luar partai pertama yang disambangi.

Inilah  yang menjadi persoalan alot dan kaku dimana elite partai  tidak serta merta segera mendeklarasikan capres yang akan menjadi portofolio masing-masing partai atau koalisi partai dalam pilpres 2024 nanti.

Ditundanya atau belum disepakatinya nama capres menunjukkan jika ada persoalan kompromi politik ideal yang belum tercapai.Memungkinkan banyak pergeseran komposisi koalisi yang begitu cepat. Sulit menebak  bagaimana  titik temu antar partai akan mencari jalan damai memutuskan  capres yang akan diusung koalisi.

Persoalan lain muncul sebagai penghambat atau terlambatnya pencapresan nama dimuka umum disebabkan  oleh capres itu sendiri. Artinya  capres dominan  atau popular  saat ini masih terikat  sebagai bagian aparatur negara. 

Tokoh-tokoh nasional yang akan bertanding di Pilpres 2024 masih banyak  yang menjabat sebagai Menteri dan Kepala Daerah. Setidaknya Jokowi sudah mengetahui setidaknya ada    4 Menteri yang akan manggung di pilpres 2024.

Persoalan  struktural tersebut yang membuat belenggu bagi capres yang masih aktif untuk mendeklarasikan  diri sebagai capres. Ganjalan struktural menjadi sandungan sistematis yang selalu mengingatkan  pada aturan seorang pegawai sipil negara harus konsentrasi kerja.

Belum ada nama  capres dari aparatur negara yang berani memutuskan mundur dari jabatannya dan akan konsentrasi melakukan proses pencapresan. Yang terjadi banyak capres yang masih melekat sebagai aparatur  negara justru mendompleng  jabatannya untuk melakukan  kampanye terselubung  secara gratis.

Produk dan kebijakan dalam wilayah kerjanya melekat banyak  unsur kepentingan yang terstruktur dan masif. Bagi capres tersebut, cara ini sangat efektif dan murah biaya dan juga pekerjaan tersebut bisa dikerjakan dengan melibatkan struktur organisasi di wilayah  kerjanya.

Lambannya kemunculan Capres yang ditetapkan oleh partai dan koalisi sangat erat berhubungan dengan intervensi  kelompok kepentingan tertentu. 

Penulis menyimpulkan jika  Jabatan Presiden adalah pertarungan   politik tertinggi di negeri ini, sangat menentukan kehidupan dan ekosistem politik dan ekonomi individu dan golongan . terjadinya wilayah Kartel khusus terutama untuk mereka yang sangat menaruh kepentingan besar melalui akses jabatan presiden.

Proses Pilpres yang dilakukan melalui pemilu langsung memberikan dampak negatif pada melonjaknya biaya pencapresan dalam berbagai tingkatan pemilihan. Untuk mencalonkan presiden setidaknya uang yang harus diparkir terlebih dulu sekitar  9 Triliun. Besaran biaya tersebut pernah dikeluhkan oleh Ridwan Kamil ketika ditanya kesiapan  pencapresan 2024

Presiden harus dipilih melalui mekanisme partai lebih dahulu dan kemudian akan diusulkan oleh  partai atau koalisi partai.

Tingkatan proses selanjutnya  pilpres akan digelar  bersamaan dilakukannya  pileg. Biaya penyelenggaraan di internal penyelenggaraan tidaklah sedikit, seperti diketahui KPU dalam Pileg dan Pilpres meminta revisi pembiayaan ke pemerintah  senilai di atas ratusan triliun rupiah.

Kelompok minoritas kepentingan disebut juga oligarki merupakan  organ independen yang mempunyai sumber daya  finansial  dan politik sangat melimpah. Baik partai politik dan capres sangat hormat dan menuruti apa yang diinginkan dan diagendakan, bekerja sama dengan koalisi  dan capres dalam memenangkan pilpres.

Oligarki jika mereka mendukung dan turut  serta dalam proses pilpres mempunyai  kepentingan masif dan terarah untuk dijadikan nilai kompromi atau deal politik tertentu. tentunya proses akhir dari keikutsertaan  mereka di pilpres adalah kemenangan   capres yang mereka dukung dan disitulah capres tersebut akan ditagih dan berada dalam belenggu serta pengaruh oligarki.

Makanya , mereka kaum oligarki tidak akan gegabah dan sembarang menentukan siapa saja yang akan diajukan dan direkomendasikan  menjadi pilihan  presiden ke partai atau koalisi partai. Oligarki tidak bisa sendirian  untuk memenangkan capres pilihannya, bekerja sama dengan partai.

 Dalam level awal operasi pencalonan capres,oligarki akan menggandeng banyak sayap  relawan bayaran  untuk memunculkan capres bidikannya. Relawan ditugaskan bekerja untuk memberikan ledakan peristiwa politik di lapangan . Relawan dibiayai untuk mengusung dan menyuarakan  capres  tertentu, membidik sasaran dan target yang telah ditentukan. Relawan dibutuhkan untuk menaikkan elektoral capres.

Melalui gerakan masif di berbagai  kota dan di banyak  organ sayap  organisasi, kelompok organ relawan bayaran ini  mampu meledakkan elektabilitas capres secara simultan. Semakin hari-semakin ramai dibicarakan di media dan diselingi dengan modal kegiatan sosial  sebagi bagian pencitraan capres terhadap kepekaan sosial dilingkungan masyarakat.

Pada saatnya,dominasi keputusan elite partai tehadap rekomendasi capres akan sia- sia mana kala tidak mendapatkan legitimasi/ atau dukungan pemilih langsung. Elite partai dan partai sebagai bagian alat resmi penyaluran aspirasi rakyat akan dianggap gagal dan lebih banyak dituduh memihak  oligarki.

 Hukuman langsung untuk elite dan partai adalah rakyat hengkang dari dukungan politik pada partai pengusung dan bisa jadi rakyat melakukan pembangkangan dengan melakukan aksi GOLPUT, tidak melaksanakan kewajiban politik , tidak memilih partai dan juga memilih dan mencoblos  capres yang bukan pilihannya.

Hanya saja, kedewasaan berfikir dan berpendapat  masyarakat akan semakin cerdas dan agresif,jangan bohongin rakyat dan jangan ditransaksikan  calon pemimpin bangsa . 

Rakyat akan terus memonitor dan jika perlu akan melakukan penolakan jika mana keputusan parpol dalam menentukan capres tidak sesuai aspirasi pemilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun