Oktober merupakan bulan bahasa. Mengapa Oktober yang dipilih bukan bulan-bulan lainnya? Itu karena bulan Oktober memiliki nilai historis.Â
Di bulan inilah tepatnya tanggal 28 Oktober diperingati Hari Sumpah Pemuda dan ditetapkan bahasa resmi bahasa Indonesia. Begitu indahnya jika kita berbicara tentang bahasa Indonesia di bulan Oktober.
Hal yang perlu kita pahami jika ngomongin soal bahasa adalah, pahami dulu artinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), setidaknya bahasa memiliki tiga arti.Â
Baca juga: Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, dan "Keminggris"
Pertama, dari sudut pandang linguistik, bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
Saya memahami arti bahasa dari sudut pandang linguistik tersebut. Itu karena saya lulusan Fakultas Sastra, UGM, Jurusan Linguistik. Wajar saja, kan, bukan hal yang istimewa.Â
Namun, bagi orang awam tentu akan kesulitan mengartikan apa itu sistem lambang bunyi, misalnya. Masyarakat pada umumnya akan lebih mudah memahami apa itu bahasa melalui definisi kedua ini; bahasa merupakan percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun.
Pengertian ketiga, bahasa merupakan sistem kata atau simbol yang memungkinkan untuk berkomunikasi dengan komputer; terutama untuk memasukkan instruksi-instruksi komputer melalui kata-kata yang mudah dipahami, dan kemudian diterjemahkan ke dalam kode mesin.
Kita juga bisa lebih fokus pada dua jenis bahasa ini: lisan dan tulisan. Bahasa lisan, seperti halnya sudah dijelaskan dalam kamus, bisa mewujud dalam percakapan, tuturan, atau kata-kata yang kita ucapkan. Sebaliknya, bahasa tulis merupakan bahasa yang kita tuliskan, berisi rangkaian kata yang lebih terstruktur jika dibandingkan dengan bahasa lisan.
Bahasa yang berwujud tulisan lebih mudah kita koreksi sebelum disampaikan kepada orang lain. Ada saringannya jika kita merasa ada yang perlu disunting atau diperbaiki.Â
Berbahasa yang baik, misalnya kita tidak abai dengan pilihan kata yang tepat, menjadi sangat penting. Entah itu dalam bentuk lisan maupun tulisan, bahasa yang baik sangat berperan dalam menjaga silaturahmi, membangun komunikasi atau interaksi, dan sering menjadi penentu sukses tidaknya kita menyampaikan gagasan.
Menggunakan bahasa yang baik perlu kita kuasai supaya kita tahu tempat, tahu waktu, dan tahu situasi serta kondisi ketika menulis atau bertutur kata.Â
Bahasa yang baik tidak bisa dilepaskan dari suatu komunitas pembaca, misalnya, atau komunitas pendengarnya. Contoh sederhana, ketika saya menulis artikel ringan maka saya harus lincah memilih kata yang mudah dicerna dan memakai kalimat demi kalimat populer, tidak formal atau kaku.Â
Kata-kata kekinian, seperti lebay, alay, receh, anjay, mager, atau gabut, bisa disisipkan untuk memperkuat efek santai, ringan, tanpa menghilangkan esensi tulisan yang komunikatif.
Berbeda halnya jika seorang mahasiswa menulis skripsi, dosen menulis disertasi, atau pejabat negara membuat surat resmi kenegaraan maka kata-kata yang dipilihnya berbeda.Â
Orang mengatakan bentuk-bentuk tulisan seperti skripsi hingga naskah-naskah kenegaraan harus menggunakan bahasa yang benar, sesuai kaidah penulisan bahasa Indonesia. Rujukan penulisan katanya antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Baca juga: Lengkapkah Kamus Besar Bahasa Indonesia? (Bahasa Baku dan Bahasa Gaul)
Bagaimana dengan bahasa yang saya gunakan untuk tulisan ini? Bagaimana pula dengan bahasa jurnalistik? Atau, bagaimana bahasa yang digunakan di blog pribadi atau di Kompasiana? Banyak pula bentuk tulisan lain, seperti puisi, cerpen, novel, naskah drama atau naskah film, bahasa apa yang digunakan?
Jawabannya sangat mungkin Anda pahami, yakni menggunakan bahasa yang baik. Sesuaikan dengan tujuan tulisan maka di situlah kita menemukan bahasa yang baik.Â
Nah, bahasa yang baik untuk artikel belum tentu baik untuk cerpen atau puisi. Bahasa yang baik untuk jurnalistik belum tentu baik untuk naskah drama.
Dengan kata lain, bahasa yang baik mengacu pada jenis karangannya. Ada adaptasi kata, kalimat, atau susunan paragrafnya pada masing-masing jenis tulisan. Itu jika bahasa yang digunakan adalah bahasa tulis.
Jika bahasa digunakan secara lisan maka si penutur harus memahami di mana ia berbahasa, tujuannya apa, dan siapa pendengarnya. Bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan anak berbeda dengan bahasa yang kita pakai untuk berinteraksi dengan orang dewasa. Ada pilihan kata tertentu yang harus kita gunakan agar tepat sasaran.Â
Dan, bahasa yang kita gunakan tersebut memang baik karena sesuai dengan tujuan yang ingin kita capai, namun belum tentu benar jika merujuk kepada cara penulisan di dalam kamus.
Bahasa yang baik dan benar, sepengetahuan saya, hanya bisa diwujudkan melalui tulisan-tulisan yang formal atau resmi. Bisa juga diejawantahkan dalam pidato-pidato kenegaraan atau acara-acara resmi kedinasan.Â
Untuk tuturan bernuansa ringan, santai, akrab, atau renyah, bahasa baiklah yang tepat. Demikian pula untuk tulisan populer, seperti artikel yang banyak muncul di Kompasiana, bahasa yang baiklah yang bisa menyentuh hati pembacanya.
Kaidah penulisannya belum tentu benar! Misalnya, kata 'tapi, tetapi', tidak boleh di awal kalimat jika kita merujuk pada tata penulisan yang benar. Demikian pula, angka 1-9 pada teks atau judul tulisan seharusnya ditulis dengan huruf, seperti satu, dua, tiga, dan seterusnya.Â
Namun, di Kompasiana atau media massa pada umumnya kaidah yang benar tersebut "dilanggar". Alasannya antara lain untuk menimbulkan efek keterbacaan yang lebih tajam atau untuk efisiensi kata. Terutama pada media massa yang ruang halamannya terbatas, efisiensi kata sangat penting.
Saya sangat memahami efisiensi kata ini karena pernah bekerja di sebuah koran nasional, dan hampir setiap hari berdiskusi tentang penulisan dan penggunaan kata.Â
Saya juga kadang berdebat panjang serta seru jika sebuah kata harus ditulis tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Namun, di situlah saya mengenal bahasa jurnalistik, yang lebih luwes, singkat, dan mudah dipahami. Meskipun, cara penulisannya tidak sesuai dengan kaidah yang baku atau kemudian disebut sebagai bahasa yang baik, tapi tidak benar.
Baca juga: Kriteria Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar!
Terjawab sudah judul di atas, bahasa yang baik memang belum tentu benar. Kebenaran ini merujuk pada kaidah baku, aturan resmi yang disepakati bersama dan dituangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau dalam bentuk petunjuk penggunaan bahasa lainnya.Â
Hal yang penting, jangan memaksakan kebenaran atau kebakuan ini untuk semua jenis tulisan atau tuturan. Jangan pula memaksakan kebenaran atau kebakuan ini di semua tempat atau di semua media.Â
Berbahasa Indonesia yang baik, bertingkah laku yang baik, dan merawat sopan santun jauh lebih bermakna dibandingkan kita memperdebatkan baku tidak bakunya kata yang kita gunakan. Namun, jika kita sedang berada dalam situasi resmi atau sedang menulis naskah formal, jangan gunakan kata alay, lebay, anjay! Gunakan bahasa yang baik dan benar!
Tulisan ini sekadar catatan pribadi, wujud cinta saya kepada bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H