Beberapa minggu lalu sebenarnya saya ingin menuliskan tentang pengalaman pribadi terkait sebagai orangtua yang merasa kerepotan karena anak terpaksa belajar di rumah. Mengapa saya bilang kerepotan? Karena saya tidak siap dengan situasi dan kondisi belajar di rumah.Â
Banyak orangtua pun tidak siap. Ini sangat wajar karena pandemi corona datang tiba-tiba, meluluhlantakkan sebagian besar aktivitas kehidupan, dan... poin pentingnya: hampir semua orang tidak siap dengan beragam bentuk perubahan yang terjadi.
Ketidaksiapan saya, menjadi kerepotan yang harus saya atasi, bukan berarti saya lantas menyalahkan pemerintah atau guru, tapi saya lebih suka menyalahkan corona. Karena Covid-19-lah maka anak-anak terpaksa belajar di rumah. Karena Covid-19 maka pemerintah khususnya Kemendikbud memutuskan dan menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar daring (online). Ini merupakan bentuk keterpaksaan daripada tidak belajar sama sekali di masa pandemi.
Lalu, apa pengalaman pribadi yang ingin saya tuliskan? Sekadar cerita intermeso saja. Di masa-masa awal pandemi, anak saya yang sekarang naik kelas 9 SMP, harus berada di rumah, sesuai anjuran pemerintah: bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah.Â
Sekitar dua bulan, tidak ada aktivitas belajar sama sekali waktu itu, dan di saat akan kenaikan kelas, tiba-tiba para gurunya memberikan soal-soal ujian. Soal-soal tersebut harus dikerjakan secara daring. Bukan itu yang menjadi pokok persoalannya. Hal yang saya herankan, selama pandemi tanpa diberi pelajaran, tiba-tiba dikasih soal ujian. Anak saya kaget, saya juga kaget, kok bisa begini proses belajar-mengajar di sekolah anak saya.
Singkat cerita, dikerjakanlah soal-soal ujian untuk kenaikan kelas tersebut. Saya tanya ke anak saya, apakah bisa mengerjakannya. Ia bilang banyak yang nggak bisa dan anak saya pun mengerjakan semampunya. Memang bisa akses Google untuk mencari jawaban dari soal-soal ujian tersebut. Tapi, anak saya sepertinya tidak terlalu antusias untuk berselancar lebih jauh di dunia maya, dan sebisa mungkin tetap menuntaskan ujian tersebut.
Apa hasilnya? Kegagalan untuk anak saya. Berturut-turut sejak kelas 7 masuk kelas unggulan, anak saya kali ini terlempar keluar dari kelas unggulan di kelas 9. Salah siapa? Â Mungkin salah gurunya yang tidak memberi pelajaran tapi tiba-tiba langsung memunculkan soal-soal ujian akhir. Mungkin salah anak saya karena tidak optimal mengerjakan soal-soal yang diberikan secara daring.
Saya melihat ekspresi anak saya yang sedih karena tidak dimasukkan lagi di kelas unggulan, yang berisi siswa-siswa dengan nilai terbaik. Saya hibur anak saya dan mengatakan bahwa ujian yang dikerjakan di rumah tidak bisa menjadi patokan yang tepat untuk menilai pintar tidaknya seorang anak.Â
Guru pun tidak pernah tahu dengan pasti apakah ujian yang dikerjakan di rumah benar-benar dikerjakan sendiri oleh siswanya. Mungkin saja dikerjakan oleh kakaknya, bundanya, ayahnya, kakek atau neneknya, dan lain sebagainya. Banyak hal bisa berpengaruh pada baik buruknya suatu nilai ujian jika dikerjakan di rumah.
Itu hanya sekilas pendapat saya, yang punya pengalaman pribadi di masa-masa awal belajar online diterapkan. Masih adakah pengalaman lagi? Benar, ada nih.
Mengawali belajar daring di kelas 9, beruntunglah kali ini sudah ada tugas-tugas yang diberikan guru lewat aplikasi belajar online. Tidak tiba-tiba diberi soal ulangan atau ujian, seperti waktu-waktu sebelumnya. Sepertinya para guru di sekolah anak saya sudah mulai siap dengan belajar online, namun belum sepenuhnya proses belajar-mengajar berlangsung dengan baik.
Apesnya, di saat mulai berjalan proses belajar daring, ponsel anak saya rusak. Mati total. Paniklah si anak masa kini, masa milenial ini, yang hidupnya tak bisa lepas dari ponsel alias smartphone. Saya pun segera meluncur ke tukang servis HP di dekat rumah. Beberapa hari menunggu, eh, si abang tukang servis mengatakan, ponselnya rusak parah dan harus ada banyak penggantian suku cadang ini dan itu.
Saya lalu mencoba ke tukang servis ponsel lainnya. Sama jawabannya. Ponsel mati total, rusak mesin dan LCD-nya pun harus diganti. Biayanya tidak sedikit menurut si abang tukang servis. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih meyakinkan, segeralah saya meluncur ke service center resmi dari merek ponsel anak saya. Benar juga. Diagnosisnya mirip, bahkan lebih berat biaya servisnya. Jika ingin ponsel benar-benar hidup saya harus menebusnya dengan harga yang tinggi, hampir menyamai harga ponsel yang baru.
Sedihlah anak saya, ponselnya belum bisa diservis alias belum bisa hidup kembali. Bersamaan dengan itu pun, proses belajar daring terus berjalan, tak berhenti, dan harus diikuti anak saya, juga anak-anak lain di seluruh penjuru tanah air. Belum punya uang untuk membeli ponsel baru maka saat ini anak saya untuk sementara waktu memakai ponsel saya.
Jadi, saat ini satu ponsel untuk berdua. Bergantianlah saya dan anak saya, sampai malam ini, saat tulisan ini saya buat, 15 Agustus 2020. Saya mengatakan kepada anak, tunggulah beberapa waktu lagi, semoga ada rezeki untuk membeli ponsel baru.
Ini sekadar contoh dari pengalaman pribadi bahwa ada kendala pada perangkat atau gawai untuk belajar online di rumah. Masih beruntung anak saya, meski ponselnya rusak, bisa menggunakan ponsel saya. Atau bisa menggunakan ponsel kakaknya, juga bisa memakai ponsel istri saya.
Bagaimana jika dalam satu rumah hanya ada satu ponsel? Bagaimana jika dalam satu rumah bahkan tidak ada yang punya ponsel? Hal tersebut saya yakin sudah dipikirkan oleh pemerintah atau para ahli terkait. Belajar di rumah memang merupakan keterpaksaan karena pandemi dan tentu saja banyak tantangan harus diatasi.
Selain ponsel, pulsa pun memberi pengaruh besar pada kesuksesan belajar di rumah. Konsumsi pulsa bisa meningkat drastis seandainya belajar-mengajar benar-benar sempurna diterapkan, misalnya harus mengakses aplikasi yang memungkinkan guru-murid bertatap muka di layar ponsel atau laptop, berlama-lama berjam-jam misalnya.
Beberapa guru menyiasati hal ini dengan memberikan tugas-tugas melalui WA atau lewat aplikasi lain tanpa tatap muka, cukup mengerjakan di rumah, seperti ketika kita buka email. Anak tinggal mengerjakan tugas atau ulangan di aplikasi tersebut. Jika ada tugas meringkas materi pelajaran maka anak saya memotret hasil ringkasannya dan mengirimkan kepada guru melalui WA.
Berdasarkan pengalaman pribadi tersebut saya mencoba berpendapat begini. Subsidi pulsa untuk pelajar maupun guru sangatlah membantu proses belajar-mengajar daring atau PJJ. Besarnya tergantung pada target pemerintah atau guru itu sendiri. Apakah targetnya mau all out menggunakan aplikasi yang memungkinkan guru-murid berinteraksi tatap muka secara online, atau cukup memanfaatkan WA dan aplikasi yang hanya untuk mengirimkan instruksi tugas secara online.
Nah, di situlah kira-kira besar kecilnya subsidi pulsa bisa dipertimbangkan. Jika ingin sempurna belajar daringnya maka subsidinya tentu sangat besar. Sebaliknya, jika belajar daringnya sebatas "yang penting ada proses belajar-mengajar" maka subsidinya bisa lebih ditekan. Silakan pemerintah yang memikirkan berapa besaran subsidinya, tapi segeralah cairkan, agar pelajar, guru, dan orangtua lebih merasa ringan dalam merogoh kocek demi pendidikan di masa pandemi ini.
Semoga situasi dan kondisi segera membaik dan belajar-mengajar tatap muka di sekolah dapat diselenggarakan dengan aman di seluruh penjuru Nusantara.
Salam sehat untuk anak Indonesia!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H