Mengawali belajar daring di kelas 9, beruntunglah kali ini sudah ada tugas-tugas yang diberikan guru lewat aplikasi belajar online. Tidak tiba-tiba diberi soal ulangan atau ujian, seperti waktu-waktu sebelumnya. Sepertinya para guru di sekolah anak saya sudah mulai siap dengan belajar online, namun belum sepenuhnya proses belajar-mengajar berlangsung dengan baik.
Apesnya, di saat mulai berjalan proses belajar daring, ponsel anak saya rusak. Mati total. Paniklah si anak masa kini, masa milenial ini, yang hidupnya tak bisa lepas dari ponsel alias smartphone. Saya pun segera meluncur ke tukang servis HP di dekat rumah. Beberapa hari menunggu, eh, si abang tukang servis mengatakan, ponselnya rusak parah dan harus ada banyak penggantian suku cadang ini dan itu.
Saya lalu mencoba ke tukang servis ponsel lainnya. Sama jawabannya. Ponsel mati total, rusak mesin dan LCD-nya pun harus diganti. Biayanya tidak sedikit menurut si abang tukang servis. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih meyakinkan, segeralah saya meluncur ke service center resmi dari merek ponsel anak saya. Benar juga. Diagnosisnya mirip, bahkan lebih berat biaya servisnya. Jika ingin ponsel benar-benar hidup saya harus menebusnya dengan harga yang tinggi, hampir menyamai harga ponsel yang baru.
Sedihlah anak saya, ponselnya belum bisa diservis alias belum bisa hidup kembali. Bersamaan dengan itu pun, proses belajar daring terus berjalan, tak berhenti, dan harus diikuti anak saya, juga anak-anak lain di seluruh penjuru tanah air. Belum punya uang untuk membeli ponsel baru maka saat ini anak saya untuk sementara waktu memakai ponsel saya.
Jadi, saat ini satu ponsel untuk berdua. Bergantianlah saya dan anak saya, sampai malam ini, saat tulisan ini saya buat, 15 Agustus 2020. Saya mengatakan kepada anak, tunggulah beberapa waktu lagi, semoga ada rezeki untuk membeli ponsel baru.
Ini sekadar contoh dari pengalaman pribadi bahwa ada kendala pada perangkat atau gawai untuk belajar online di rumah. Masih beruntung anak saya, meski ponselnya rusak, bisa menggunakan ponsel saya. Atau bisa menggunakan ponsel kakaknya, juga bisa memakai ponsel istri saya.
Bagaimana jika dalam satu rumah hanya ada satu ponsel? Bagaimana jika dalam satu rumah bahkan tidak ada yang punya ponsel? Hal tersebut saya yakin sudah dipikirkan oleh pemerintah atau para ahli terkait. Belajar di rumah memang merupakan keterpaksaan karena pandemi dan tentu saja banyak tantangan harus diatasi.
Selain ponsel, pulsa pun memberi pengaruh besar pada kesuksesan belajar di rumah. Konsumsi pulsa bisa meningkat drastis seandainya belajar-mengajar benar-benar sempurna diterapkan, misalnya harus mengakses aplikasi yang memungkinkan guru-murid bertatap muka di layar ponsel atau laptop, berlama-lama berjam-jam misalnya.
Beberapa guru menyiasati hal ini dengan memberikan tugas-tugas melalui WA atau lewat aplikasi lain tanpa tatap muka, cukup mengerjakan di rumah, seperti ketika kita buka email. Anak tinggal mengerjakan tugas atau ulangan di aplikasi tersebut. Jika ada tugas meringkas materi pelajaran maka anak saya memotret hasil ringkasannya dan mengirimkan kepada guru melalui WA.
Berdasarkan pengalaman pribadi tersebut saya mencoba berpendapat begini. Subsidi pulsa untuk pelajar maupun guru sangatlah membantu proses belajar-mengajar daring atau PJJ. Besarnya tergantung pada target pemerintah atau guru itu sendiri. Apakah targetnya mau all out menggunakan aplikasi yang memungkinkan guru-murid berinteraksi tatap muka secara online, atau cukup memanfaatkan WA dan aplikasi yang hanya untuk mengirimkan instruksi tugas secara online.
Nah, di situlah kira-kira besar kecilnya subsidi pulsa bisa dipertimbangkan. Jika ingin sempurna belajar daringnya maka subsidinya tentu sangat besar. Sebaliknya, jika belajar daringnya sebatas "yang penting ada proses belajar-mengajar" maka subsidinya bisa lebih ditekan. Silakan pemerintah yang memikirkan berapa besaran subsidinya, tapi segeralah cairkan, agar pelajar, guru, dan orangtua lebih merasa ringan dalam merogoh kocek demi pendidikan di masa pandemi ini.