Tak hanya itu, ada juga sedikit warung yang sudah buka di pagi-pagi buta, sementara banyak warung lainnya masih tutup. Saya tahu hal ini karena biasanya setelah mengantar istri, dari stasiun saya tidak langsung ke rumah. Mampir dulu ke warung karena biasanya anak saya minta dibelikan roti atau susu sasetan. Atau sekadar isi bensin karena ada warung yang juga jualan bensin.
Sehabis dari warung, kadang saya mampir juga ke penjual nasi uduk atau nasi kuning. Setidaknya ada tiga penjual nasi yang ada di sekitar rumah saya, yang membuka dagangan dimulai dari waktu sangat pagi.
Masih adakah orang yang beraktivitas di waktu subuh itu? Oh, masih. Kadang setelah mengantar istri, dari stasiun saya menuju pasar tradisional. Itu kalau ada pesanan pempek dan sayalah yang membeli ikannya di pasar. Sebelum bekerja di kantor seperti sekarang ini, istri saya jualan pempek di rumah. Nah, pesanan itu masih saja ada hingga sekarang, meski dikerjakan ketika istri libur kerja.
Di pasar tradisional, subuh tidaklah sesepi di tempat lain. Di tempat ini sudah sangat ramai orang mencari nafkah. Ada yang jualan ikan, sayur, beras, ayam, dan banyak jenis dagangan lainnya. Penuh. Tidak ada jaga jarak ketika saya harus ke pasar. Sudah banyak orang, penjual dan pembeli melakukan transaksi di waktu dini hari.
Situasi pagi-pagi sekali itu menginspirasi saya hampir setiap hari. Kebetulan saya baru sempat menuliskannya sekarang, dan saya menyebut mereka adalah para pejuang subuh. Meski kadang harus menahan kantuk, para pejuang subuh tetap tidak mudah mengeluh. Saya melihat ekspresi segar mereka, melihat keriangan, keceriaan, sesekali melempar canda di antara mereka. Entah itu sebagai bentuk strategi menahan kantuk, namun setidaknya, saya bisa tersenyum melihat para pekerja ini.
Mencari nafkah yang dimulai dari pagi, di saat banyak orang masih terlelap dalam tidur, bagi mereka sudah menjadi hal yang biasa. Ini pun juga dilakukan banyak orang di tempat lain, tidak hanya di sekitar rumah saya. Hal yang istimewa bagi saya, yakni adanya penjiwaan dalam bekerja. Mereka menguasai apa yang mereka kerjakan.
Entah itu diawali dengan manajemen kepepet atau terpaksa pada awalnya, namun kemudian proses mencari nafkah yang mewujud dalam beragam profesi tersebut menjadi hal yang menyenangkan. Tidak ada lagi nuansa keterpaksaan karena wajah-wajah mereka yang di pasar atau di depan stasiun menunjukkan keceriaan.
Apalagi jika mereka berjuang dilandasi oleh keperluan keluarga. Bekerja demi bisa menyekolahkan anak, misalnya, atau bekerja demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, menjadi daya dorong yang sangat kuat bagi para pejuang subuh untuk menjalankan aktivitas penuh semangat. Punya motivasi. Berani malu tapi tidak malu-maluin. Berani melawan kantuk. Semua itu merupakan bentuk-bentuk perjuangan yang dimulai dari subuh, untuk mendapatkan rezeki. Berapa pun jumlah rupiah atau rezekinya, saya yakin mereka mensyukurinya.
Para pejuang subuh tersebut akan selalu menginspirasi saya dalam menikmati aktivitas yang saya lakukan saat ini. Rezeki memang Tuhan yang menentukan, tapi tetap diawali dengan usaha keras dan cerdas saya, disertai dengan doa, dan tidak mudah mengeluh di saat harus mengalami kesulitan demi kesulitan.
Pedagang di pasar, penjual buah di depan stasiun, para pemilik warung yang buka mulai subuh, penjual nasi uduk dan penjual nasi kuning, juga para pekerja yang memanfaatkan KRL bisa menjadi guru saya dalam memaknai pengalaman hidup. Belajar dari mereka di waktu pagi mampu membawa kesegaran, energi, dan inspirasi untuk saya. Salah satu hasil dari inspirasi tersebut adalah tulisan sederhana ini.
Terima kasih, Anda sudah meluangkan waktu membaca tulisan saya ini. Salam sehat, salam semangat!