Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Para Pejuang Subuh yang Tak Mudah Mengeluh

12 Agustus 2020   14:44 Diperbarui: 12 Agustus 2020   14:50 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum pandemi Covid-19, saya sudah "menganggur" di rumah. Kata "menganggur" ini menimbulkan banyak makna. Bagi orang konservatif atau yang masih berpikir bahwa bekerja ya di kantor, maka orang seperti saya, yang beraktivitas di rumah, disebut penganggur. Bahkan, banyak tetangga saya waktu itu sering bertanya kepada istri saya kapan saya akan kerja lagi. Atau, mereka heran karena menurut mereka saya lama sekali di rumah dan tidak kunjung jua mendapatkan pekerjaan.

Sampai sekarang pun, jika definisi orang yang bekerja adalah yang punya kantor, maka saya masih dikategorikan penganggur. Padahal, di sisi lain, saat ini semasa wabah corona, kita dianjurkan untuk bekerja dari rumah. Berbahagialah orang yang baru kali ini bekerja di rumah karena Anda tidak dikategorikan penganggur; bahkan dimuliakan karena berperan serta dalam perang melawan Covid-19.

Namun, saya tidak akan menuliskan definisi menganggur tersebut. Biarlah itu sudah menjadi pengalaman yang telah lewat. Saat ini saya tetap beraktivitas di rumah dan para tetangga sudah tidak lagi menyebut saya penganggur. Apalagi banyak juga sekarang para pria, para suami, yang saya lihat banyak berada di rumah, dibandingkan sebelum corona banyak bekerja di kantor.

Saya akan mengisahkan cerita lain. Saat ini, saya hampir tiap hari, di waktu subuh atau dini hari, mengantar istri ke stasiun, bersepeda motor yang tahun pembuatannya sudah bisa dikategorikan lawas. Sudah sekitar dua tahun ini istri saya yang bekerja di luar rumah, di sebuah lingkungan kerja di daerah Tebet, Jakarta. Namun, selama pandemi Covid-19, istri saya diperbantukan di kantor pusatnya, di daerah Tangerang.

Perjalanan dari Citayam, Depok menuju Tangerang sangatlah jauh. Menggunakan moda transportasi kereta api commuter line, maka waktu subuh atau dini hari menjadi waktu yang tepat untuk berangkat kerja. Jika Anda bertanya, mengapa tiap hari istri saya harus ngantor, padahal ada wabah corona, itu karena lingkup kerjanya merupakan lingkup yang wajib ngantor. Bahkan, selama PSBB pun, istri saya masuk kerja.

Sayangnya, saya tidak bisa menjelaskan jenis pekerjaan istri di tulisan ini. Biarlah saya dan teman-teman yang berkomunikasi dengan saya yang mengetahuinya. Saya akan menuliskan sisi-sisi lain ketika saya mengantarkan istri ke stasiun kereta. Dari rumah menuju stasiun, di waktu subuh atau dini hari, saya mendapatkan makna hidup yang bisa saya tuliskan; dan baru kali ini sempat menuliskan tema ini.

Apakah di waktu pagi buta, demikian istilah lain dari waktu yang sangat pagi, suasana masih sepi? Tidak. Sudah banyak pekerja yang berangkat dari rumah sepagi mungkin agar tidak terlambat ngantor. Dari daerah Bogor maupun Depok, misalnya, saya bisa melihat banyak orang sudah menggunakan kereta rel listrik (KRL). Sebenarnya ini bukan hal baru bagi saya karena sewaktu ngantor dulu pun, saya menggunakan KRL untuk berangkat ke tempat kerja.

Lalu, apa sebenarnya yang ingin saya tuliskan?

Banyak orang mencari nafkah dimulai dari pagi hari, bahkan sangat-sangat pagi menurut istilah saya sendiri. Ada yang naik kereta api, namun ada juga di depan stasiun kereta, banyak pedagang yang sudah mulai beraktivitas. Setiap dini hari, saya melihat beberapa mobil boks mengangkut buah-buahan dari hasil panen para petani dan komoditas tersebut didrop di depan stasiun.

Banyak orang kemudian menjual buah-buahan, seperti jambu, pepaya, apel, dan jeruk, di sekitar stasiun. Ada juga yang kemudian melanjutkan mobilitas kerjanya dengan menjual aneka buah tersebut ke daerah Jakarta. Itu dimulai dari subuh, dini hari.

Tak hanya itu, ada juga sedikit warung yang sudah buka di pagi-pagi buta, sementara banyak warung lainnya masih tutup. Saya tahu hal ini karena biasanya setelah mengantar istri, dari stasiun saya tidak langsung ke rumah. Mampir dulu ke warung karena biasanya anak saya minta dibelikan roti atau susu sasetan. Atau sekadar isi bensin karena ada warung yang juga jualan bensin.

Sehabis dari warung, kadang saya mampir juga ke penjual nasi uduk atau nasi kuning. Setidaknya ada tiga penjual nasi yang ada di sekitar rumah saya, yang membuka dagangan dimulai dari waktu sangat pagi.

Masih adakah orang yang beraktivitas di waktu subuh itu? Oh, masih. Kadang setelah mengantar istri, dari stasiun saya menuju pasar tradisional. Itu kalau ada pesanan pempek dan sayalah yang membeli ikannya di pasar. Sebelum bekerja di kantor seperti sekarang ini, istri saya jualan pempek di rumah. Nah, pesanan itu masih saja ada hingga sekarang, meski dikerjakan ketika istri libur kerja.

Di pasar tradisional, subuh tidaklah sesepi di tempat lain. Di tempat ini sudah sangat ramai orang mencari nafkah. Ada yang jualan ikan, sayur, beras, ayam, dan banyak jenis dagangan lainnya. Penuh. Tidak ada jaga jarak ketika saya harus ke pasar. Sudah banyak orang, penjual dan pembeli melakukan transaksi di waktu dini hari.

Situasi pagi-pagi sekali itu menginspirasi saya hampir setiap hari. Kebetulan saya baru sempat menuliskannya sekarang, dan saya menyebut mereka adalah para pejuang subuh. Meski kadang harus menahan kantuk, para pejuang subuh tetap tidak mudah mengeluh. Saya melihat ekspresi segar mereka, melihat keriangan, keceriaan, sesekali melempar canda di antara mereka. Entah itu sebagai bentuk strategi menahan kantuk, namun setidaknya, saya bisa tersenyum melihat para pekerja ini.

Mencari nafkah yang dimulai dari pagi, di saat banyak orang masih terlelap dalam tidur, bagi mereka sudah menjadi hal yang biasa. Ini pun juga dilakukan banyak orang di tempat lain, tidak hanya di sekitar rumah saya. Hal yang istimewa bagi saya, yakni adanya penjiwaan dalam bekerja. Mereka menguasai apa yang mereka kerjakan.

Entah itu diawali dengan manajemen kepepet atau terpaksa pada awalnya, namun kemudian proses mencari nafkah yang mewujud dalam beragam profesi tersebut menjadi hal yang menyenangkan. Tidak ada lagi nuansa keterpaksaan karena wajah-wajah mereka yang di pasar atau di depan stasiun menunjukkan keceriaan.

Apalagi jika mereka berjuang dilandasi oleh keperluan keluarga. Bekerja demi bisa menyekolahkan anak, misalnya, atau bekerja demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, menjadi daya dorong yang sangat kuat bagi para pejuang subuh untuk menjalankan aktivitas penuh semangat. Punya motivasi. Berani malu tapi tidak malu-maluin. Berani melawan kantuk. Semua itu merupakan bentuk-bentuk perjuangan yang dimulai dari subuh, untuk mendapatkan rezeki. Berapa pun jumlah rupiah atau rezekinya, saya yakin mereka mensyukurinya.

Para pejuang subuh tersebut akan selalu menginspirasi saya dalam menikmati aktivitas yang saya lakukan saat ini. Rezeki memang Tuhan yang menentukan, tapi tetap diawali dengan usaha keras dan cerdas saya, disertai dengan doa, dan tidak mudah mengeluh di saat harus mengalami kesulitan demi kesulitan.

Pedagang di pasar, penjual buah di depan stasiun, para pemilik warung yang buka mulai subuh, penjual nasi uduk dan penjual nasi kuning, juga para pekerja yang memanfaatkan KRL bisa menjadi guru saya dalam memaknai pengalaman hidup. Belajar dari mereka di waktu pagi mampu membawa kesegaran, energi, dan inspirasi untuk saya. Salah satu hasil dari inspirasi tersebut adalah tulisan sederhana ini.


Terima kasih, Anda sudah meluangkan waktu membaca tulisan saya ini. Salam sehat, salam semangat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun