Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Berutang, Memaknai Kesulitan dan Sebentuk Rasa Malu

7 Agustus 2020   22:24 Diperbarui: 7 Agustus 2020   22:18 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum mengalirkan ide, membentuk satu tulisan yang utuh tentang utang dan diri saya, izinkan saya menuliskan satu kalimat inspiratif dari Samuel Johnson: "Kehidupan tidak memberikan kepuasan yang lebih tinggi daripada penaklukan kesulitan." 

Kutipan tersebut sangat lekat dengan diri saya, yaitu kehidupan dan kesulitan. Nah, di dalam kesulitan itulah muncul satu kata yang sangat populer, dan sebenarnya tidak enak didengar, yakni 'utang'.

Orang yang berutang sebagian besar karena kepepet. Terpaksa. Itu karena dua kata ini, yakni kehidupan dan kesulitan sedang terjalin erat. Hidup yang sulit tentu saja membutuhkan respons yang sering kali harus cepat dan bijak.  Salah satu respons cepat tersebut adalah dengan berutang kepada pihak lain.

Ada satu lagi yang melengkapi kata 'kesulitan' sehingga kita, atau saya tepatnya, memutuskan untuk berutang. Satu kata tersebut adalah "malu". Ketika saya memutuskan berutang maka ada sebentuk rasa malu, karena orang lain mengetahui kalau saya sedang berada di fase kehidupan yang sulit. 

Ada rasa malu karena saya harus berani menyatakan, "pinjam dong" atau "bolehkah saya pakai uangmu dulu", dan ungkapan lainnya. Itu sangat membebani hati dan pikiran saya ketika memutuskan untuk berutang.

Jadi, kehidupan, kesulitan, dan rasa malu harus saya rasakan jika saya berutang. Namun, beberapa situasi memaksa saya harus berani melakukannya. Saya ambil contoh sederhana saja.

Beberapa waktu lalu saya terpaksa berutang kepada teman karena uang saya kurang untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT) anak saya yang baru saja diterima menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri di Jakarta. 

Saya mengumpulkan keberanian untuk menyatakan berutang demi bisa membayar UKT, karena uang yang saya siapkan sebelumnya belumlah cukup untuk membayar.

Kebetulan, teman saya yang seorang dosen memahami kesulitan saya, dan memberikan pinjaman. Bahkan, teman saya merasa bangga memberi pinjaman karena ia ikut senang anak saya bisa masuk kuliah tanpa tes alias lewat jalur SNMPTN.

Contoh sederhana tersebut merupakan kisah nyata. Saya memang berutang dan saya punya kewajiban untuk melunasinya. Ketika menyatakan berutang berarti saya harus memahami bahwa saya sedang berada pada situasi kehidupan yang sulit, dan harus bisa memaknai sebentuk rasa malu, demi mengatasi kesulitan yang sedang saya rasakan.

Bagi sebagian besar orang yang berkecukupan sangat mungkin menaruh benci kepada orang yang berutang. Namun, sebagian besar orang lainnya yang juga berkecukupan bisa memahami alasan seseorang berutang dalam suatu momen yang terpaksa, kepepet, atau mendesak. 

Saya bisa juga mencontohkan pengalaman pribadi, betapa orang yang sukses dan hidup cukup tetap bisa bersahabat, padahal saya beberapa kali berutang.

Itu terjadi beberapa tahun lalu, ketika saya sedang dalam situasi sulit karena kehilangan pekerjaan. Seorang teman baik semasa SMA menolong saya dengan beberapa kali memberi pinjaman sejumlah uang. 

Bahkan, pada beberapa momen sulit saya alami, dan saya terpaksa menyampaikan untuk berutang lagi. Apa respons teman saya? Apakah teman saya tersebut membenci dan memarahi saya?

Ternyata tidak. Tak terduga, ia tetap memberikan pinjaman, padahal utang sebelumnya belum saya bayar. Teman baik saya tersebut bercerita bahwa adiknya pernah mengalami kehilangan pekerjaan dan ia sangat memahami betapa sulitnya seseorang jika berada di situasi tersebut. 

Jadi, di saat ada orang yang berprinsip sekali saja memberi utang ke orang lain, apalagi orang yang berutang belum melunasi utangnya. Sebaliknya, teman saya punya prinsip berbeda. Ia tetap memberikan bantuan kepada saya, padahal saat itu, utang saya belum lunas.

Makna penting yang bisa saya rasakan, pahami, dan bahkan membuat saya terharu, bahwa dalam situasi kehidupan yang sulit, kita juga harus berani menanggung rasa malu untuk sementara waktu. 

Di saat-saat seperti itu, saya juga bisa mengenal dengan baik, siapa teman siapa lawan, siapa sahabat siapa kerabat. Itu karena dalam kesulitan, hanya sedikit orang yang bisa bertahan membantu kita. 

Tak salah ungkapan bijak yang mengatakan, dalam situasi sulitlah kita bisa tahu siapa sahabat yang sebenarnya. Termasuk ketika kita menyatakan berutang, ketika kita membuka diri bahwa kita sedang berada dalam situasi sulit, di situlah kita memahami orang-orang terbaik di sekitar kita.

Jadi, berutang tidak bisa muncul begitu saja. Pasti ada landasan kuatnya, salah satunya adalah kehidupan yang sedang sulit dan tidak bisa saya atasi sendirian. Bukankah manusia pada suatu momen dalam hidupnya, tidak bisa sendirian mengatasi segalanya? Salah satu cara meminta pertolongan tersebut adalah dengan terpaksa berutang.

Sementara itu, dalam momen yang lain pun, saya juga memberikan bantuan kepada orang lain, memberi pinjaman sejumlah uang. 

Namun, tak perlu saya uraikan di sini, karena saya sudah memahami bahwa orang yang berutang kepada saya, berarti ia dalam suatu momen hidupnya, sedang mengalami apa yang juga saya alami: kehidupan, kesulitan, dan sebentuk rasa malu.

Dengan menyadari hal tersebut, saya sekaligus belajar rendah hati, tidak mudah membenci atau meremehkan ketika orang lain berutang. Itu karena saya sadar bahwa berutang merupakan salah satu cara manusia mengatasi kesulitan atau persoalan hidup, dengan secepat mungkin dan setepat mungkin.

Mencoba memberi tambahan makna tentang utang-piutang ini, saya coba tuliskan ungkapan bijak  Mark Joyce, "Berpikirlah positif, bertindaklah positif, bersikaplah positif, berbagilah positif." 

Maka ketika kita berutang atau memberi utangan, kita tetap pada kerangka berpikir, bertindak, bersikap, dan berbagi yang positif. Cara ini akan membuat kita bisa memaknai hidup yang indah ini dengan sudut pandang yang membahagiakan, meski pada suatu momen, kita sedang berada pada situasi sulit dan memalukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun