Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mengakrabi Geguritan di Sastra Bulan Purnama

21 Januari 2025   12:31 Diperbarui: 21 Januari 2025   15:52 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nela  (Temanggung)/Foto: dok. SBP

Kelaurga SBP bersama Ahmad Tohari/Foto: Hermard
Kelaurga SBP bersama Ahmad Tohari/Foto: Hermard
Mengawali tahun 2025,    memasuki edisi 160, SBP  menampilkan   pembacaan geguritan (puisi berbahasa Jawa) karya perempuan penggurit dari Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Acara diselenggarakan di Museum Sandi (25/1/2025) sore hingga malam.

Nela  (Temanggung)/Foto: dok. SBP
Nela  (Temanggung)/Foto: dok. SBP
Perempuan penggurit yang berpartisipasi, antara lain  Sus S Hardjono (Sragen), Emi Sudarwati (Bojonegoro), Fransiska Ambar Kristyani  (Semarang), Ely Widayati (Nganjuk) Ucik Fuadhiyah (Semarang),  Sawitri (Sukoharjo).

Selanjutnya Ami Simatupang (Yogya),  Suprihatin (Bantul), Yuli Purwati (Magelang), Seruni Unie (Solo), Nela Nur Murosokhah. (Temanggung), Alfiah Ariswati (Karanganyar), Erndra Achaer (Purbalingga), Ika Zardhy Saliha ( Kulonprogo), dan Hands Yanies (Malang). 

Krishna Mihardja,  kurator penyusunan antologi, menekankan bahwa ada beraneka macam tema guritan yang  dimuat. Kehadiran antologi ini sekaligus sebagai jawaban situasi yang terjadi pada tahun 1960 sampai 1970-an.

"Saat itu perempuan-perempuan penyair Jawa bisa dikatakan makhluk langka, bisa dihitung dengan jari.  Sehingga ada beberapa sastrawan laki-laki yang menggunakan nama samaran perempuan. Tapi saat ini ternyata keadaan terbalik. Mencari penyair perempuan sungguh begitu mudah," jelas pensiunan guru matematika yang juga dikenal sebagai sastrawan dwi bahasa (Jawa dan Indonesia).

Para perempuan penggurit  sebagian besar berprofesi sebagai guru dan akan membacakan geguritan yang terhimpun dalam antologi Kinanthi Gurit Pawestri.

"Lewat antologi  Kinanthi Gurit Pawestri, kita mengetahui kreativitas perempuan dalam bersastra, menciptakan geguritan," jelas Dhanu Priyo Prabowo, pengamat sastra Jawa.

Sebagai ruang bersama, SBP juga memberi ruang bagi sastra Jawa, terlebih media ekspresi sastra Jawa kian terbatas. Lewat geguritan, terbersit keinginan mempertahankan bahasa Jawa di tengah nasionalisasi bahasa Indonesia dan merangseknya bahasa asing.

"Saya senang menyaksikan para perempuan terus berkarya dan memilih bahasa bahasa Jawa sebagai media erekspresi. Dari geguritan ini, kita bisa tahu, bahwa bahasa Jawa masih terus dijaga oleh generasi yang lebih muda," ujar Ons Untoro menutup pembicaraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun