Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mengakrabi Geguritan di Sastra Bulan Purnama

21 Januari 2025   12:31 Diperbarui: 21 Januari 2025   15:52 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenal geguritan/Foto: SPB


Tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika pengembangan dan perkembangan sastra di DIY tidak dapat dilepaskan dari peran pengayom, penerbit, media massa, dan berbagai komunitas sastra yang terus bertumbuh bagai cendawan di musim hujan, baik di kota Yogyakarta maupun di wilayah kabupaten (Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman).

Kegiatan SBP di Museum Sandi/Foto: Hermard
Kegiatan SBP di Museum Sandi/Foto: Hermard

Salah satu komunitas yang "tahan banting" dan terus mengadakan kegiatan selama lebih dari tiga belas tahun adalah komunitas Sastra Bulan Purnama (SBP). Mulai berkiprah sejak 11 Oktober 2011, bertujuan meramaikan kehidupan sastra di Yogyakarta.

"Sastra Bulan Purnama awalnya lahir di Tembi. Tujuannya untuk menampung teman-teman yang suka berkegiatan sastra. Membaca, diskusi sastra, musikalisasi puisi, dan kegiatan lainnya," ujar Ons Untoro (20/1/2025), koordinator SBP.

Semula kegiatan dipusatkan di Museum Tembi, tetapi sejak beberapa tahun lalu semenjak  Ons Untoro pensiun dari Tembi, kegiatan diadakan berpindah-pindah dari kampus ke kampus maupun instansi pemerintah. Belakangan ini kegiatan lebih sering diadakan di Museum Sandi, Kotabaru, Yogyakarta.

Yuliani (paling depan) bersama teman penulis/Foto: dokpri Yuliani K
Yuliani (paling depan) bersama teman penulis/Foto: dokpri Yuliani K

"Saya direngkuh, dijaga, dan didampingi dalam kehidupan bersastra dan berkomunitas oleh SBP. Komitmen Pak Ons dalam menjaga obor SBP tetap menyala, membuat SBP menjadi komunitas yang dirindukan," tutur Yuliani Kumusdaswari yang bergabung dengan SBP sejak  tahun 2015.

Ibu dari dua orang putri itu menjadikan SBP sebagai tempat bertumbuh dalam menghasilkan karya sastra. 

Beberapa karya Yuliani yang sudah terbit antara lain 100 Puisi Yuliani Kumudaswari (Cakrawala Publishing, 2016), Perempuan Bertatto Kura-kura (Tonggak Pustaka, 2017), Menyusuri Waktu (Tonggak Pustaka, 2018), Wajah Senja (Tonggak Pustaka, 2019), Kepada Paitua (Tonggak Pustaka, 2020) dan Kembang Belukar (Tonggak Pustaka, 2021).

Pemikiran serupa, mengenai keberadaan SBP dalam perannya menumbuhkembangkan sastra di DIY, juga dilontarkan Agus Suprihono, pengarang sastra Jawa.

"SBP sangat berguna bagi sastrawan, tidak saja sastrawan Indonesia, tetapi juga sastrawan Jawa. Ketika media ekspresi karya sastra semakin sempit dan peminatnya  tidak seheboh pada era 1970-an, SBP hadir sebagai oase yang mampu menyejukkan hati," komentar Agus yang sering hadir dalam acara SBP.

Kelaurga SBP bersama Ahmad Tohari/Foto: Hermard
Kelaurga SBP bersama Ahmad Tohari/Foto: Hermard
Mengawali tahun 2025,    memasuki edisi 160, SBP  menampilkan   pembacaan geguritan (puisi berbahasa Jawa) karya perempuan penggurit dari Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Acara diselenggarakan di Museum Sandi (25/1/2025) sore hingga malam.

Nela  (Temanggung)/Foto: dok. SBP
Nela  (Temanggung)/Foto: dok. SBP
Perempuan penggurit yang berpartisipasi, antara lain  Sus S Hardjono (Sragen), Emi Sudarwati (Bojonegoro), Fransiska Ambar Kristyani  (Semarang), Ely Widayati (Nganjuk) Ucik Fuadhiyah (Semarang),  Sawitri (Sukoharjo).

Selanjutnya Ami Simatupang (Yogya),  Suprihatin (Bantul), Yuli Purwati (Magelang), Seruni Unie (Solo), Nela Nur Murosokhah. (Temanggung), Alfiah Ariswati (Karanganyar), Erndra Achaer (Purbalingga), Ika Zardhy Saliha ( Kulonprogo), dan Hands Yanies (Malang). 

Krishna Mihardja,  kurator penyusunan antologi, menekankan bahwa ada beraneka macam tema guritan yang  dimuat. Kehadiran antologi ini sekaligus sebagai jawaban situasi yang terjadi pada tahun 1960 sampai 1970-an.

"Saat itu perempuan-perempuan penyair Jawa bisa dikatakan makhluk langka, bisa dihitung dengan jari.  Sehingga ada beberapa sastrawan laki-laki yang menggunakan nama samaran perempuan. Tapi saat ini ternyata keadaan terbalik. Mencari penyair perempuan sungguh begitu mudah," jelas pensiunan guru matematika yang juga dikenal sebagai sastrawan dwi bahasa (Jawa dan Indonesia).

Para perempuan penggurit  sebagian besar berprofesi sebagai guru dan akan membacakan geguritan yang terhimpun dalam antologi Kinanthi Gurit Pawestri.

"Lewat antologi  Kinanthi Gurit Pawestri, kita mengetahui kreativitas perempuan dalam bersastra, menciptakan geguritan," jelas Dhanu Priyo Prabowo, pengamat sastra Jawa.

Sebagai ruang bersama, SBP juga memberi ruang bagi sastra Jawa, terlebih media ekspresi sastra Jawa kian terbatas. Lewat geguritan, terbersit keinginan mempertahankan bahasa Jawa di tengah nasionalisasi bahasa Indonesia dan merangseknya bahasa asing.

"Saya senang menyaksikan para perempuan terus berkarya dan memilih bahasa bahasa Jawa sebagai media erekspresi. Dari geguritan ini, kita bisa tahu, bahwa bahasa Jawa masih terus dijaga oleh generasi yang lebih muda," ujar Ons Untoro menutup pembicaraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun