Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Puisi Hujan Pertama sampai Pengkhianatan Cinta

19 Januari 2025   10:23 Diperbarui: 19 Januari 2025   16:10 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antologi puisi penyair Indonesia/Foto: Hermard

Dalam buku Bilang Begini, Maksudnya Begitu (Gramedia, 2023), Sapardi Djoko Damono mengisyaratkan bahwa puisi merupakan hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasa. Apa yang ditulis penyair tidak serta-merta bisa diartikan secara harfiah. Kerap penyair bilang begini, tapi maksudnya begitu.

Saat kuliah dulu, seorang dosen sastra (kemungkinan besar dengan menyitir gagasan Michael Riffaterre) mengatakan bahwa puisi adalah ketika kita ingin mengatakan X dengan cara Y.

Dalam tangkapan pemikiran sederhana saya, ketika jatuh cinta, misalnya, maka seorang penulis puisi tidak akan menuliskan secara langsung kata aku cinta padamu (dianggap terlalu vulgar, lebay). 

Mungkin saja ia lebih memilih cara kreatif dengan menuliskan kata-kata tak biasa: izinkan aku tersangkut di ranting kerinduanmu! Atau: biarkan aku berkubang di telaga cintamu!

Strategi memahami puisi/Foto: Hermard
Strategi memahami puisi/Foto: Hermard

Sekarang mari kita simak bagaimana seseorang mengungkapkan perasaannya lewat puisi berikut ini.

Kau datang seperti hujan pertama,
Menembus sunyi yang lama berdebu.
Dinginmu membasuh rindu,
Menyusup pelan di celah pori-pori waktu.

Kemarau panjang tlah merontokkan daun,
Namun kau turun deras mengalun.
Cinta merekah di balik tanah tandus,
Harapan bersemi, tumbuh tanpa putus.

Di bawah langit yang samar-samar abu,
Aku menari diiringi deras suaramu.
Kau lembut namun tak ragu,
Menghapus jejak kegetiran masa lalu.

Hujan,
Kau adalah jawaban dari penantian panjang.
Setetes demi setetes,
Kau ajarkan hati ini cara mencintai lagi.

Dari puisi "Hujan Pertama Setelah Kemarau" di atas, kita bisa memaknai bahwa hujan bukan berarti air yang jatuh dari langit dan kemarau bukan musim tanpa air (makna denotatif).

Lebih dari itu, kata hujan memiliki makna yang mampu menembus batas-batas referensial (konotatif), sehingga bisa diartikan sebagai awal kebahagiaan yang begitu dinanti, diharapkan.

Sebaliknya, kemarau mewakili keterasingan, penderitaan, keterpurukan, atau kehilangan arah. Di sisi lain, jejak kegetiran melukiskan trauma terhadap masa lalu.

Apa yang sesungguhnya disampaikan melalui puisi itu merupakan dinamika perkembangan emosi manusia menghadapi keterasingan versus harapan baru. 

Artinya, kata hujan dalam puisi tersebut, pengertiannya tidak hanya terbatas pada air yang jatuh dari langit. Hujan dapat dimaknai sebagai harapan baru demi perubahan lebih baik lagi.

Sedangkan hujan dalam puisi "Gemuruh di Dalam Kepala" dapat dipahami sebagai saluran puncak emosi, rasa syukur saat bencana (badai) berlalu.

Gemuruh di dalam Kepala

Ada riuh di dalam sana,
pikiran-pikiran berlomba,
berteriak tanpa jeda,
tak peduli, siapa yang menang.

Mereka tabrak-menabrak,
layaknya awan di malam badai,
siapa yang jadi terang,
siapa yang luruh sebagai hujan.

Di sudut sunyi, jiwa bertahan,
mengintip celah di antara porak,
mencari sisa hangat mentari,
di pusaran ribut yang tak kunjung usai.

Namun, gemuruh ini tak selamanya,
ada jeda di antara detak,
seperti hujan, ia pun reda,
menyisakan jejak kisah yang tertata.

Puisi "Gemuruh di dalam Kepala" sejatinya merupakan gambaran mendalam konflik batin manusia, mencerminkan kegelisahan sosial dalam kehidupan modern- kekacauan hubungan antara individu dan struktur sosial- dengan keyakinan masih ada harapan dalam menghadapi tantangan hidup.

Realitas hubungan dalam masyarakat modern juga dapat kita nikmati melalui puisi "Ketika Kau Suguhi Aku Punggung". 

Berbeda dengan puisi "Gemuruh di dalam Kepala" yang mengabstraksikan relasi kegelisahan sosial dalam kehidupan modern, maka puisi "Ketika Kau Suguhi Aku Punggung" memaparkan kegelisahan individu dalam kehidupan dunia modern berkenaan dengan hubungan interpersonal berkaitan dengan persoalan cinta, pengkhianatan.

Kau yang pernah berjanji untuk menjadi tulang punggung
Justru hengkang menuju belakang panggung
Cintaku masih gembira ria berpentas
Justru kau berlalu jauh dari sikap pantas

Sakitnya sungguh tak palang tanggung
Ketika kau sengaja pergi mempersembahkan punggung
Di belakangmu aku terlanjur membangun harap
Sekejap saja gedung-gedung harapan lenyap

Secara semiotik, kata punggung dalam penggalan puisi di atas dapat dimaknai sebagai penolakan. Sedangkan runtuhnya gedung harapan mencerminkan keinginan yang kandas karena pengkhianatan.

Kerapuhan cinta menggambarkan harapan yang kadang tidak tergapai- adanya ketegangan sosial antara keinginan dan kenyataan yang mungkin saja bertolak belakang.

Dapat dikatakan bahwa puisi "Ketika Kau suguhi Aku Punggung" merupakan puisi dengan topik mengenai luka karena pengkhianatan cinta, sekaligus mencerminkan dilema sosial berkaitan dengan kegagalan memenuhi harapan dan tanggung jawab relasional.

Pada akhirnya, kita memahami bahwa puisi merupakan bentuk ekspresi seni yang diwujudkan melalui diksi (pilihan kata). Tentu saja menciptakan puisi tidak semudah membalikan telapak tangan, termasuk puisi-puisi yang sudah dibahas secara sekilas di atas.

Mengapa begitu? Tidak lain karena, seperti paparan di awal tulisan ini: penyair bilang begini, tapi maksudnya begitu. 

Penyair harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh semua kata sebagai media ungkap imajinasinya. Mau tidak mau, penulis melakukan invetarisasi kata dan selalu berkeinginan memperkaya kosa kata agar puisinya mampu menggugah daya bayang, daya imaji pembaca.

Puisi "Hujan Pertama Setelah Kemarau", "Gemuruh di dalam Kepala", dan "Ketika Kau Suguhi Aku Punggung", merupakan bagian dari puluhan puisi lainnya (karya Halima Maysaroh) yang akan diterbitkan dalam antologi Wulan Umbara- beberapa puisi pernah ditayangkan di Kompasiana.

Menurut Halima Maysaroh, alumnus English Departement Universitas Pattimura, Ambon, rencananya antologi tersebut akan terbit secepatnya pada tahun 2025.

Judul antologi diambil dari salah satu puisi terbaik dalam antologi ini, yaitu "Wulan Umbara", merupakan gambaran pergulatan manusia dalam memaknai hidup dan kehidupan. 

Puisi naratif tersebut bercerita mengenai keinginan manusia melampaui batas waktu, sekaligus kepasrahan bahwa sesungguhnya waktu tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.

Sebagai tanda (semiotik), puisi ini tidak lepas dari konteks sosial, budaya, memiliki elemen-elemen simbolis, menggambarkan pergulatan batin manusia dengan waktu dan takdir melalui personifikasi bulan dan malam.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun