Mengapa begitu? Tidak lain karena, seperti paparan di awal tulisan ini: penyair bilang begini, tapi maksudnya begitu.Â
Penyair harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh semua kata sebagai media ungkap imajinasinya. Mau tidak mau, penulis melakukan invetarisasi kata dan selalu berkeinginan memperkaya kosa kata agar puisinya mampu menggugah daya bayang, daya imaji pembaca.
Puisi "Hujan Pertama Setelah Kemarau", "Gemuruh di dalam Kepala", dan "Ketika Kau Suguhi Aku Punggung", merupakan bagian dari puluhan puisi lainnya (karya Halima Maysaroh) yang akan diterbitkan dalam antologi Wulan Umbara- beberapa puisi pernah ditayangkan di Kompasiana.
Menurut Halima Maysaroh, alumnus English Departement Universitas Pattimura, Ambon, rencananya antologi tersebut akan terbit secepatnya pada tahun 2025.
Judul antologi diambil dari salah satu puisi terbaik dalam antologi ini, yaitu "Wulan Umbara", merupakan gambaran pergulatan manusia dalam memaknai hidup dan kehidupan.Â
Puisi naratif tersebut bercerita mengenai keinginan manusia melampaui batas waktu, sekaligus kepasrahan bahwa sesungguhnya waktu tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.
Sebagai tanda (semiotik), puisi ini tidak lepas dari konteks sosial, budaya, memiliki elemen-elemen simbolis, menggambarkan pergulatan batin manusia dengan waktu dan takdir melalui personifikasi bulan dan malam.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI