Sedangkan hujan dalam puisi "Gemuruh di Dalam Kepala" dapat dipahami sebagai saluran puncak emosi, rasa syukur saat bencana (badai) berlalu.
Gemuruh di dalam Kepala
Ada riuh di dalam sana,
pikiran-pikiran berlomba,
berteriak tanpa jeda,
tak peduli, siapa yang menang.
Mereka tabrak-menabrak,
layaknya awan di malam badai,
siapa yang jadi terang,
siapa yang luruh sebagai hujan.
Di sudut sunyi, jiwa bertahan,
mengintip celah di antara porak,
mencari sisa hangat mentari,
di pusaran ribut yang tak kunjung usai.
Namun, gemuruh ini tak selamanya,
ada jeda di antara detak,
seperti hujan, ia pun reda,
menyisakan jejak kisah yang tertata.
Puisi "Gemuruh di dalam Kepala" sejatinya merupakan gambaran mendalam konflik batin manusia, mencerminkan kegelisahan sosial dalam kehidupan modern- kekacauan hubungan antara individu dan struktur sosial- dengan keyakinan masih ada harapan dalam menghadapi tantangan hidup.
Realitas hubungan dalam masyarakat modern juga dapat kita nikmati melalui puisi "Ketika Kau Suguhi Aku Punggung".Â
Berbeda dengan puisi "Gemuruh di dalam Kepala" yang mengabstraksikan relasi kegelisahan sosial dalam kehidupan modern, maka puisi "Ketika Kau Suguhi Aku Punggung" memaparkan kegelisahan individu dalam kehidupan dunia modern berkenaan dengan hubungan interpersonal berkaitan dengan persoalan cinta, pengkhianatan.
Kau yang pernah berjanji untuk menjadi tulang punggung
Justru hengkang menuju belakang panggung
Cintaku masih gembira ria berpentas
Justru kau berlalu jauh dari sikap pantas
Sakitnya sungguh tak palang tanggung
Ketika kau sengaja pergi mempersembahkan punggung
Di belakangmu aku terlanjur membangun harap
Sekejap saja gedung-gedung harapan lenyap
Secara semiotik, kata punggung dalam penggalan puisi di atas dapat dimaknai sebagai penolakan. Sedangkan runtuhnya gedung harapan mencerminkan keinginan yang kandas karena pengkhianatan.
Kerapuhan cinta menggambarkan harapan yang kadang tidak tergapai- adanya ketegangan sosial antara keinginan dan kenyataan yang mungkin saja bertolak belakang.
Dapat dikatakan bahwa puisi "Ketika Kau suguhi Aku Punggung" merupakan puisi dengan topik mengenai luka karena pengkhianatan cinta, sekaligus mencerminkan dilema sosial berkaitan dengan kegagalan memenuhi harapan dan tanggung jawab relasional.
Pada akhirnya, kita memahami bahwa puisi merupakan bentuk ekspresi seni yang diwujudkan melalui diksi (pilihan kata). Tentu saja menciptakan puisi tidak semudah membalikan telapak tangan, termasuk puisi-puisi yang sudah dibahas secara sekilas di atas.