Pertanyaan sederhana yang layak diajukan adalah: dari satu dua biji bahkan puluhan atau ratusan koleksi buku yang Kompasianer miliki, apakah di antaranya ada buku sastra berupa naskah drama? Mengapa karya sastra, kalaupun ada, yang kita koleksi sebatas antologi puisi, cerita pendek, dan novel? Apakah naskah drama memang benar-benar "terpinggirkan" dalam kehidupan sastra?Â
Bukankah nama besar seperti Putu Wijaya, Danarto, Montinggo Busje, Arifin C Noer, Asrul Sani, Rendra, (seharusnya) merupakan magnet yang mampu menarik perhatian pembaca atas naskah-naskah pementasan teater yang mereka ciptakan?
Rentetan pertanyaan itu jelas akan menggiring kita kedalam situasi "ngeri-ngeri sedap" kehidupan sastra, khususnya prosa (drama) Indonesia.
Meskipun saya bukan sutradara pertunjukan, apalagi aktor teater, tetapi di almari buku Omah Ampiran tersimpan beberapa buku naskah drama yang cukup penting dan menarik, setidaknya menurut anggapan Ibu Negara Omah Ampiran.
Dari Senja dengan Dua Kematian sampai Palaran Gandrik
Beberapa judul naskah drama (dalam wujud buku terbitan) yang berjajar rapi dalam almari buku Omah Ampiran adalah Senja dengan Dua Kematian (Kirdjomuljo), Mahkamah (Asrul Sani), Sumur Tanpa Dasar (Arifin C Noer), Malam Jahanam (Motinggo Busye), Lima Drama (B. Soelarto), Menyublim Hingga Rahim (Indra Tranggono, editor), dan Palaran Lima Lakon Avant-Gandrik (Heru Kesawa Murti).
Ada dua judul naskah drama karya Kirjomuljo yang nyaris sama, yaitu Senja dengan Dua Kematian, dan Senja dengan Dua Kelelawar. Keduanya bercerita mengenai nasib wong cilik dalam menghadapi kehidupan, percintaan, dan dendam.
Naskah pertama bercerita mengenai bagaimana Kardiman, seorang ayah, melakukan kesalahan dengan memperdayai kekasih Karonowo, sahabatnya sendiri. Karonowo membalas dendam dengan merudapaksa Wijasti, puteri Kardiman. Kenyataan ini membuat Kardiman bunuh diri, menyesali perbuatannya.
Di sisi lain, naskah Senja dengan Dua Kelelawar, lakon yang ditulis Kirdjomuljo tahun 1950, mengisahkan bagaimana Ismiyati yang tidak bisa berpaling dari Suwarto, lelaki yang pernah hadir di masa lalunya dan tak pernah bisa lepas dari pikirannya.
Semenjak mereka sering menumpang kereta api yang sama (saat masih sekolah), ia jatuh cinta kepada Suwarto. Kenyataannya, Suwarto sudah memiliki kehidupan lain, hidup bahagia bersama Mursiwi, istrinya.Â
Saat Mursiti tewas tertabrak kereta api, maka Ismiyati menjadi terduga penyebab kematian Mursiti.