Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Desa Wisata Sumber Gempong dan Dewi Sri di Kaki Gunung Penanggungan

28 Desember 2024   09:17 Diperbarui: 30 Desember 2024   08:31 3134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan tidak sengaja dengan Pak Sugeng (60), pensiunan  guru SMP Negeri 1 Trawas, di warung/gubuk Jemblem (28/12/2024)  bukanlah suatu kebetulan. Sebab dari pertemuan di sisi kiri pintu utama masuk Villa Puncak Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, itulah  travel story ini bermula. Keberadaan warung/gubuk  Jemblem, diapit warung kelontong dan warung susu sapi segar.

Jemblem/Foto: Hermard
Jemblem/Foto: Hermard
"Kalau belum pernah ke desa wisata  Sumber Gempong, eman-eman Mas. Cuma sepuluh menit dari sini. Nanti pulangnya mampir ke desa Duyung, kampung durian. Rasa duriannya dijamin jos, tidak bakal mengecewakan," papar Pak Sugeng.

Seusai menikmati susu segar, pisang goreng, dan jemblem (cemplon) yang manis gurih, bersama Pak Sugeng, kami meluncur ke Jalan Trawas-Pandaan.  Berbelok ke kiri sesuai papan petunjuk menuju Desa Wisata Sawah Sumber Gempong (DWSSG). Jalan dengan kontur cukup curam kami lewati perlahan. Terlebih jalannya tidak terlalu lebar.

"Jalan ini sering dipakai  menguji kemampuan calon pendaki gunung. Makanya jalannya curam, menanjak, memanjang," jelas Mas Agus seraya mengendalikan  mobil yang terpaksa melambat karena jalan menurun tajam.

Eksotika sawah dan gunung Penanggungan/Foto: Hermard
Eksotika sawah dan gunung Penanggungan/Foto: Hermard
Di pos penjagaan, kami membayar tiket masuk seharga lima ribu rupiah per kepala. Begitu masuk ke area wisata, mata kami dimanjakan oleh hamparan sawah menghijau dilengkapi gubuk-gubuk  tempat istirahat pengunjung. 

Di kejauhan terlihat keeksotisan gunung Penanggungan disaput awan tipis. Sesekali terdengar suara "kedompreng" berasal dari potongan seng digantung berayun bersama piring kaleng, pengusir burung  penggasak buliran padi.

"Tempat wisata ini hasil kerja sama Bumdes, tokoh masyarakat, dan penduduk desa Ketapanrame. Jadi sawah-sawah di sini, meskipun merupakan bagian dari objek wisata, tetap dikelola oleh masyarakat. Penanaman padi bisa berkelanjutan karena air melimpah dari umbul atau tuk Sumber Gempong," jelas Pak Sugeng sambil tangannya menunjuk ke arah sisi kolam renang.

Menikmati liburan/Foto: Hermard
Menikmati liburan/Foto: Hermard
Sebagai tempat wisata keluarga, DWSSG dilengkapi  berbagai arena permainan. Ada kereta sawah-diberi nama Kereta Sawah (KS) Argo Welirang-kolam pemandian, terapi ikan, bebek air, ayunan jantra, sepeda layang, becak terbang, dan All-Terrain Vehicle (ATV). 

Race ATV/Foto: @sumbergempong
Race ATV/Foto: @sumbergempong
Pengunjung akan dimanjakan dengan kolam pemandian, terapi ikan, dan pondok sawah yang disediakan gratis. Bagi penyuka permainan agak ekstrim  bisa mencoba sepeda layang dan becak terbang yang "dikayuh" di ketinggian  dengan pemandangan sawah di bawahnya.

Sepeda layang/Foto: @sumbergempong
Sepeda layang/Foto: @sumbergempong
Pilihan lain mengitari sawah menaiki kereta KS Argo Welirang atau mengitari kolam buatan dengan bebek air. Bisa juga menaiki ATV. Fasilitas berbagai permainan tersebut dibandrol dengan harga  ramah di kantong, dari sepuluh ribu sampai dua puluh lima ribu rupiah.

Saya dan Ibu Negara Omah Ampiran lebih menikmati berjalan menyusuri pematang sawah, menghampiri pondok-pondok bambu, memandang takjub ke arah gunung Penanggungan. 

Pertemuan dengan Dewi Sri/Foto: Hermard
Pertemuan dengan Dewi Sri/Foto: Hermard
Kami berhenti sejenak tepat di depan patung Dewi Sri yang terbuat dari bahan bambu setinggi tujuh meter sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran.

"Legenda Dewi Sri bukan hanya sebatas cerita. Ia menggambarkan hubungan timbal balik antara manusia, alam, dan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat tradisional. Utamanya di Jawa," jelas Ibu Negara Omah Ampiran.

Dalam masyarakat agraris, legenda Dewi Sri tidak hanya menceritakan soal padi, tetapi mengandung nilai moral pentingnya kerja keras, kesabaran, dan hubungan timbal balik manusia dengan alam.

Ada yang menyatakan bahwa Dewi Sri menjadi simbol identitas budaya agraris, menyatukan masyarakat dalam kepercayaan bersama. Upacara dan tradisi yang melibatkan Dewi Sri, seperti upacara panen atau sedekah bumi, menjadi sarana memperkuat rasa kebersamaan.

Rombongan Jombang dan Mojokerto/Foto: Hermard
Rombongan Jombang dan Mojokerto/Foto: Hermard
"Tempat wisata ini menyenangkan. Pemandangannya bagus, harga tiket masuknya murah, dan suasana pedesaannya sangat terasa dengan banyaknya gubuk-gubuk di tengah hamparan sawah," papar  Fajar Rini Dian (52), wisatawan asal Jombang, mantan pramugari salah satu maskapai penerbangan ternama di Indonesia.

Bersama rombongannya, Dian menghabiskan waktu di area terapi ikan.  Sebelumnya berfoto ria di beberapa spot menarik.

Kesejukan DWSSG/Foto: @sumbergempong
Kesejukan DWSSG/Foto: @sumbergempong
Objek wisata DWSSG bukan tempat wisata biasa, bukan kaleng-kaleng,  karena pada tahun 2023 meraih penghargaan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) Terbaik Tahun 2023 yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).  

Bagi yang ingin berlama-lama menikmati keindahaan alam DWSSG, wisatawan bisa melakukan camping dengan menyewa tenda atau menginap di guest house yang disediakan.

Tantangan ke depannya bagi pengelola adalah mengeksplore agar lebih memanjakan wisatawan, menjadi magnet kerinduan sehingga wisatawan ingin kembali berkunjung. 

Hal ini setidaknya dapat ditempuh dengan memperpanjang rel kereta sawah agar bisa melintas melewati warung-warung UKM atau arena permainan lainnya. Dibuatkan jalur  ATV yang lebih menantang dan memacu adrenalin.   

Alternatif lain, memberbanyak wisata edukasi (tidak hanya untuk rombongan, tetapi juga perorangan atau keluarga). Wisata edukasi tersebut bisa saja berupa pengenalan terhadap nama, cara menanam, dan fungsi pepohonan di sekitar DWSSG. Toh pernah dilakukan kegiatan menanam seribu pohon di DWSSG pada awal pendiriannya.  

Selain itu, anak-anak diajari bercocok tanam padi, melintasi pematang sawah, membajak, memberi makan sapi atau hewan lainnya.  

Sesekali perlu juga dipentaskan kesenian tradisional Jawa Timuran. Hal ini sebagai upaya memperkenalkan dan meningkatkan kecintaan masyarakat, khususnya generasi muda terhadap kesenian tradisional.

Menikmati durian desa Duyung/Foto: Mas Agus
Menikmati durian desa Duyung/Foto: Mas Agus
Seperti yang dijanjikan Pak Sugeng dan Mas Agus, sepulang dari DWSSG menuju Villa Puncak Trawas, kami singgah ke desa Duyung berburu durian.

"Kita singgah ke rumah Mbak Ika. Duriannya dijamin legit," ajak Mas Agus.

Benar saja, rumah Mbak Ika, isteri polisi, dipenuhi dengan puluhan bahkan ratusan durian yang sudah diikat tali rafia berwarna biru. 

Durian inden/Foto: Hermard
Durian inden/Foto: Hermard
Rafia itu sebagai tanda kalau buah durian  sudah laku. Menurut cerita Mas Agus, membeli durian di sini dengan cara inden. Untungnya kami bernasib baik, masih kebagian sepuluh durian yang rasanya  sungguh tak terkatakan kelezatannya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun