Godhong kara kok godhong luntas/Nyayur asem rasane nyamleng/Senajan Blora ning tengah alas/Uripe tentrem atine seneng (Mohamad Toha, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Blora).
Graji putung gowang siji/Wayahe ganti malah mung direparasi/Jati mono kepetung barang aji/Wayahe diemi-emi malah ditebasi (Kusnan, Lembaga Sertifikasi Verifikasi Legalitas Hasil Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari).
Â
Begitulah dua parikan (dari puluhan parikan lainnya) yang dibacakan dalam Parade Parikan Wong Blora Ngudarasa, diselenggarakan oleh Rumah Literasi (Ruli) Blora bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Blora. Acara berlangsung di Dinas Perpustakaan (21/12/2024) dengan menampilkan Kentrung Zaenuri Sutrisno, Parade Parikan Warga Blora, dan Musik Tradisional Cokekan.
Parikan di atas memberi gambaran meskipun orang Blora hidup di hutan, tetapi mereka selalu merasa bahagia. Di sisi lain muncul kontradiksi, saat kayu jati menjadi barang warisan berharga (bagi masyarakat Blora) dan semestinya dipertahankan, tetapi kenyataannya kian habis ditebasi.
"Parade parikan digelar karena wong Blora, di balik bahasanya yang terkesan kasar, sejatinya menyiratkan kejujuran dan keterbukaan serta selera humor yang tinggi. Karakter ini tersirat, antara lain lewat parikan-parikan dalam dialek khas Blora yang sering didengar dalam acara pilihan pendengar siaran radio lokal Blora," papar Noereska penggagas acara.
Dijelaskan lebih jauh, dalam perkembangan modernisasi, parikan menghadapi tantangan, terpinggirkan, karena media hiburan global kian mendominasi.Â
Untuk itu Parade Parikan Blora sengaja diselenggarakan sebagai salah satu upaya strategis mempertahankan tradisi lisan masyarakat Jawa dalam bentuk hiburan, nasihat, atau sindiran yang disampaikan secara ringan sekaligus humoris.
Akar budaya parikan di Blora, diperkirakan salah satunya berasal dari seni budaya tutur Kentrung.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, parikan sering ditampilkan dalam seni pertunjukan tradisional seperti wayang kulit, kethoprak, dan ludruk. Dalam pertunjukan ludruk, parikan disampaikan sebagai pembuka untuk mencairkan dan menyegarkan suasana.
Dari berbagai referensi diketahui bahwa parikan merupakan genre puisi tradisional dalam budaya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Parikan memiliki kemiripan dengan pantun, terdiri atas dua larik (atau lebih) yang saling berhubungan, berupa sampiran dan isi.
Fungsi utama parikan pada mulanya sebagai media komunikasi masyarakat dalam menyampaikan pesan moral, kritik sosial, atau hiburan-guyonan parikeno. Dalam bingkai guyon parikeno, parikan bisa menjelma sebagai kritik tajam tanpa harus menyakiti.
Berikut ini dapat disimak kepasrahan dan harapan wong cilik, berprofesi sebagai pedagang keliling, dalam melakoni hidup lewat parikan yang cukup menggigit.
Kawit esuk dolan Blora kok nganti maghrib/Gak entuk bantuan gakpapa sing penting urip
-
Esuk teh, sore ngopi/Senajan ora akeh, penting nyukupi (Bang Item, bakul penthol)
Suasana parikan karya Bang Item, tentu saja berbeda dengan parikan karya Hery Slamet Hariyadi (Dirut Blora Patragas Hulu) yang berani mengkritisi atau setidaknya berharap agar pemerintahan berjalan bersih sehingga rakyat hidup dalam suasana gemah ripah loh jinawi.
Blora kuthane tentrem gemah Ripah/Rakyate guyup ora tau congkrah/Nek Pimpinan lan Pejabate amanah/Insya Allah Lengo ning Blora iso dadi berkah
Bentuknya yang sederhana, berirama, mudah diingat, menjadikan parikan populer di kalangan masyarakat luas (pedesaan/perkotaan), bahkan sampai hari ini.
Hal tersebut setidaknya dibuktikan dengan antusiasme keterlibatan masyarakat dalam Parade Parikan Blora.
Sastra UGM.
"Kontributor penulis dan pembaca parikan benar-benar mewakili seluruh lapisan masyarakat Blora. Ada bakul penthol, penjual lontong tahu, pelajar, guru, karyawan, musisi muda, ustadz, pensiunan dan kepala dinas. Terdapat pula kontributor yang sehari-hari berurusan dengan hutan jati dan minyak Blora. Bahkan ada dua jenderal purnawirawan berkenan menulis parikan. Semua kami dokumentasikan dan jangka panjangnya semoga dapat diterbitkan dalam bentuk buku antologi parikan," jelas Noereska, lulusan FakultasHal menarik dalam Parade Parikan Wong Blora Ngudarasa, selain tokoh kentrung Zaenuri Sutrisno (putra tokoh kentrung Mbah Tris), tampil pula Sanggar Seni Padma Widya SMA Negeri 2 Blora dengan sinden dari SMK Negeri 2 Blora yang membuka dan merespon seluruh pembaca parikan dengan jengglengan mengesankan. Selain itu, mereka menampilkan gendhing "Eman-eman", disisipi parikan-parikan menarik.
Mohamad Toha Mustofa, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Blora, merasa puas menyaksikan antusiasme penonton dan peserta. Ia bangga karena Rumah Literasi Blora mampu mempertemukan banyak komunitas dan profesi antargenerasi untuk merawat seni tradisi parikan yang kian terpinggirkan.
Upaya Rumah Literasi Blora dan Dinas Perpustakaan mengadakan parade parikan, setidaknya menunjukan bahwa parikan merupakan bagian penting dari kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa.
Parikan memiliki fungsi menyampaikan pesan moral, etika, atau nasihat dengan cara yang mudah diingat. Selain itu, parikan dimanfaatkan menyampaikan kritik secara tidak langsung demi menjaga keharmonisan, menghindari konflik.
Sampai tahun 1970-an, masyarakat Blora yang turun dari sawah, beberapa di antara mereka berkumpul di bawah pohon jati, menikmati kopi, sambil parikan.Â
Parikan menjadi hiburan pelepas lelah. Secara tidak langsung, mampu memperkuat hubungan sosial, menciptakan suasana akrab, dan menegaskan identitas budaya masyarakat Blora.
Sebagai bentuk ekspresi budaya, parikan mencerminkan kearifan lokal melalui bahasa, tema, dan isi yang berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat tradisional.
Ara-ara digawe pasar/Tuku bubur campur ketan/Wong Blora basane kasar/Asline jujur tur apikan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H