Bentuknya yang sederhana, berirama, mudah diingat, menjadikan parikan populer di kalangan masyarakat luas (pedesaan/perkotaan), bahkan sampai hari ini.
Hal tersebut setidaknya dibuktikan dengan antusiasme keterlibatan masyarakat dalam Parade Parikan Blora.
Sastra UGM.
"Kontributor penulis dan pembaca parikan benar-benar mewakili seluruh lapisan masyarakat Blora. Ada bakul penthol, penjual lontong tahu, pelajar, guru, karyawan, musisi muda, ustadz, pensiunan dan kepala dinas. Terdapat pula kontributor yang sehari-hari berurusan dengan hutan jati dan minyak Blora. Bahkan ada dua jenderal purnawirawan berkenan menulis parikan. Semua kami dokumentasikan dan jangka panjangnya semoga dapat diterbitkan dalam bentuk buku antologi parikan," jelas Noereska, lulusan FakultasHal menarik dalam Parade Parikan Wong Blora Ngudarasa, selain tokoh kentrung Zaenuri Sutrisno (putra tokoh kentrung Mbah Tris), tampil pula Sanggar Seni Padma Widya SMA Negeri 2 Blora dengan sinden dari SMK Negeri 2 Blora yang membuka dan merespon seluruh pembaca parikan dengan jengglengan mengesankan. Selain itu, mereka menampilkan gendhing "Eman-eman", disisipi parikan-parikan menarik.
Mohamad Toha Mustofa, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Blora, merasa puas menyaksikan antusiasme penonton dan peserta. Ia bangga karena Rumah Literasi Blora mampu mempertemukan banyak komunitas dan profesi antargenerasi untuk merawat seni tradisi parikan yang kian terpinggirkan.
Upaya Rumah Literasi Blora dan Dinas Perpustakaan mengadakan parade parikan, setidaknya menunjukan bahwa parikan merupakan bagian penting dari kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa.
Parikan memiliki fungsi menyampaikan pesan moral, etika, atau nasihat dengan cara yang mudah diingat. Selain itu, parikan dimanfaatkan menyampaikan kritik secara tidak langsung demi menjaga keharmonisan, menghindari konflik.
Sampai tahun 1970-an, masyarakat Blora yang turun dari sawah, beberapa di antara mereka berkumpul di bawah pohon jati, menikmati kopi, sambil parikan.Â
Parikan menjadi hiburan pelepas lelah. Secara tidak langsung, mampu memperkuat hubungan sosial, menciptakan suasana akrab, dan menegaskan identitas budaya masyarakat Blora.
Sebagai bentuk ekspresi budaya, parikan mencerminkan kearifan lokal melalui bahasa, tema, dan isi yang berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat tradisional.
Ara-ara digawe pasar/Tuku bubur campur ketan/Wong Blora basane kasar/Asline jujur tur apikan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H