"Kumparan peristiwa tak lazim itu adalah harta karun terbesar yang kemudian dicatat IBS, diserap, dimaknai, dan dibagikan kepada pembaca," papar Naufal.
Naufal pertama kali mengenal IBS lewat buku Ngudud: Cara Orang Jawa Menikmati Hidup (Manasuka, 2012). Â Ia heran dengan buku yang dirasa unik, kok ya ada buku mengenai bagaimana orang Jawa menikmati rokok dan melupakan persoalan hidup.
Lelaki yang sempat berkelana di Bandung ini terkagum-kagum dengan cara IBS mengungkapkan gagasannya bahwa hanya dengan rokok murahan  (tingwe), atau puntung sekali pun, wong cilik di Jawa dapat terus berdiri dan mandiri, melupakan sejenak beban hidup yang tak mungkin lagi digambarkan dengan kata dan bahasa.
Dari situ pula, wong cilik mampu terus bertahan, dan membangun sejarah di tanah kelahirannya... Setelah itu Naufal mulai berburu buku-buku IBS.
Dalam acara Wedangan #3, hadir pula teman karib IBS, yaitu Mustofa W Hasyim (penyair) dan S. Arimba (penggiat sastra, dosen). Mustofa mengenang kembali obrolan dengan IBS mengenai sastra yang mencerdaskan dan membebaskan.
Sedangkan S. Arimba menceritakan bagaimana obrolan semalam suntuk di Sor Sawo.
"Percakapan ngalor-ngidul terkadang baru mentes, menjelang subuh. Untuk itu saya rela pulang sehabis subuh, setelah mendapatkan pencerahan sesungguhnya dari IBS," kenang S. Arimba. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H