Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Harum Serbuk Tembok: Menggugah Kenangan Masa Lalu

24 November 2024   09:51 Diperbarui: 24 November 2024   10:33 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedekatan penulis terhadap Kotagede, bisa diamati lewat puisi yang juga dijadikan judul antologi, "Harum Serbuk Tembok".

Aku gandeng tanganmu 

Dengan juntai-juntai akar beringin pasar Kotagede beriringan kita berangan

Jendela dengan teralis kayu 

Gang sempit menuju labirin masa depan 

Retak tembok 

Suara motor yang menelan gemerisik rantai sepeda

Masa kecilku tersangkut di remasan tangan pedagang jamu, penempa perak, dan anak-anak yang menangis minta mainan

Kenanganku harum seperti pewangi yang dipasang di pertokoan 

Seperti keringat tukang becak yang menurunkan beras di pasar 

Seperti tawar-menawar harga dagangan penjual barang klitikan

Kita kekal dalam redup kota dalam bayang-bayang yang terpantul lampu jalanan dalam mimpi indah gelandangan yang tertidur pada selasar pasar

Penggalan puisi tersebut menggambarkan alur kenangan  emosional: lukisan masa kecil, kehidupan sosial, dan perubahan kota lewat objek-objek masa lalu, termasuk kehidupan wong cilik. Artinya, puisi "Harum Serbuk Tembok" merekam kehidupan masyarakat urban dengan nuansa lokal begitu kuat.

Pasar Kotagede mewakili aktivitas ekonomi kehidupan wong cilik, penuh hiruk-pikuk interaksi sosial. Wong cilik yang dihadirkan adalah pedagang jamu, penempa perak, tukang becak, pedagang klitikan- profesi tradisional  sebagai warisan budaya dan ekonomi rakyat kecil yang kian terpinggirkan oleh modernitas.

Dari perspektif sosiologis, puisi ini merupakan kritik halus terhadap pergeseran nilai-nilai tradisional tergantikan modernisasi. Di samping penghormatan terhadap kehidupan wong cilik yang setia berjuang mempertahankan identitas mereka.

Hal  cukup menarik terjadi ketika dalam buku ini ditemukan empat puisi dengan judul berpusat pada rumah, salah satunya adalah "Rumah" (selain "Meninggalkan Rumah", "Di Rumah Kosong", dan "Rumah Lantai Dua").

Rumah

Rumah yang kita bangun penuh dengan pintu

Masuklah dari arah yang kau inginkan Sebab setiap aku memunutupnya 

Seluruh kunci patah 

Dan ia terbuka menunggu kedatangamu

Di depan jendela, 

Kita akan menikmati kopi 

Menyusuri sawah dan gulma dalam tubuh kita

Bertautan tangan

Peta pada garis kita lesap 

Masuk ke dalam dan seluruh pintu telah tertutup

Sebuah cermin retak

Kita berkaca sambil telanjang

Rumah memilki makna khusus bagi Sukma karena ia sempat berpindah dari wilayah Kotagede (rumah orang tua), Wijilan (rumah kontrakan), dan terakhir Keloran, Bantul (rumah pribadi).

Rumah Keloran JBS/Foto: dokpri JBS
Rumah Keloran JBS/Foto: dokpri JBS
"Iya rumah merupakan  metafora diri dalam menghadapi kehidupan," ungkap perempuan penulis buku nonfiksi  Kotagede yang Tak Lekang-hasil residensi program Fasilisitas Bidang Kebudayaan Tahun 2020.  

Puisi "Rumah" menggambarkan perjalanan spiritual dan emosional manusia dalam menemukan tempat di dunia, baik melalui hubungan dengan orang lain maupun refleksi diri. Rumah menjadi ruang personal penuh kehangatan sekaligus misteri.

Bagian dari rumah dimanfaatkan Sukma mewakili pikiran dan imajinasinya. Rumah penuh pintu mengandaikan kehidupan  dengan  peluang, arah, atau keputusan yang harus diambil. Saat kunci patah dan pintu terbuka,  mengisyaratkan kerentanan,  keterbukaan emosi.

Jendela menyimbolkan perspektif, pandangan bersama terhadap dunia. Cermin retak mewakili situasi kehancuran, refleksi diri yang tidak sempurna, atau realitas  terpecah. 

Sedangkan kopi dan sawah merupakan  anasir kehidupan sederhana, membumi, menunjukkan keintiman dan keterhubungan terhadap alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun