Kedekatan penulis terhadap Kotagede, bisa diamati lewat puisi yang juga dijadikan judul antologi, "Harum Serbuk Tembok".
Aku gandeng tanganmuÂ
Dengan juntai-juntai akar beringin pasar Kotagede beriringan kita berangan
Jendela dengan teralis kayuÂ
Gang sempit menuju labirin masa depanÂ
Retak tembokÂ
Suara motor yang menelan gemerisik rantai sepeda
Masa kecilku tersangkut di remasan tangan pedagang jamu, penempa perak, dan anak-anak yang menangis minta mainan
Kenanganku harum seperti pewangi yang dipasang di pertokoanÂ
Seperti keringat tukang becak yang menurunkan beras di pasarÂ
Seperti tawar-menawar harga dagangan penjual barang klitikan
Kita kekal dalam redup kota dalam bayang-bayang yang terpantul lampu jalanan dalam mimpi indah gelandangan yang tertidur pada selasar pasar
Penggalan puisi tersebut menggambarkan alur kenangan  emosional: lukisan masa kecil, kehidupan sosial, dan perubahan kota lewat objek-objek masa lalu, termasuk kehidupan wong cilik. Artinya, puisi "Harum Serbuk Tembok" merekam kehidupan masyarakat urban dengan nuansa lokal begitu kuat.
Pasar Kotagede mewakili aktivitas ekonomi kehidupan wong cilik, penuh hiruk-pikuk interaksi sosial. Wong cilik yang dihadirkan adalah pedagang jamu, penempa perak, tukang becak, pedagang klitikan- profesi tradisional  sebagai warisan budaya dan ekonomi rakyat kecil yang kian terpinggirkan oleh modernitas.
Dari perspektif sosiologis, puisi ini merupakan kritik halus terhadap pergeseran nilai-nilai tradisional tergantikan modernisasi. Di samping penghormatan terhadap kehidupan wong cilik yang setia berjuang mempertahankan identitas mereka.
Hal  cukup menarik terjadi ketika dalam buku ini ditemukan empat puisi dengan judul berpusat pada rumah, salah satunya adalah "Rumah" (selain "Meninggalkan Rumah", "Di Rumah Kosong", dan "Rumah Lantai Dua").
Rumah
Rumah yang kita bangun penuh dengan pintu
Masuklah dari arah yang kau inginkan Sebab setiap aku memunutupnyaÂ
Seluruh kunci patahÂ
Dan ia terbuka menunggu kedatangamu
Di depan jendela,Â
Kita akan menikmati kopiÂ
Menyusuri sawah dan gulma dalam tubuh kita
Bertautan tangan
Peta pada garis kita lesapÂ
Masuk ke dalam dan seluruh pintu telah tertutup
Sebuah cermin retak
Kita berkaca sambil telanjang
Rumah memilki makna khusus bagi Sukma karena ia sempat berpindah dari wilayah Kotagede (rumah orang tua), Wijilan (rumah kontrakan), dan terakhir Keloran, Bantul (rumah pribadi).
"Iya rumah merupakan  metafora diri dalam menghadapi kehidupan," ungkap perempuan penulis buku nonfiksi  Kotagede yang Tak Lekang-hasil residensi program Fasilisitas Bidang Kebudayaan Tahun 2020. Â
Puisi "Rumah" menggambarkan perjalanan spiritual dan emosional manusia dalam menemukan tempat di dunia, baik melalui hubungan dengan orang lain maupun refleksi diri. Rumah menjadi ruang personal penuh kehangatan sekaligus misteri.
Bagian dari rumah dimanfaatkan Sukma mewakili pikiran dan imajinasinya. Rumah penuh pintu mengandaikan kehidupan  dengan  peluang, arah, atau keputusan yang harus diambil. Saat kunci patah dan pintu terbuka,  mengisyaratkan kerentanan,  keterbukaan emosi.
Jendela menyimbolkan perspektif, pandangan bersama terhadap dunia. Cermin retak mewakili situasi kehancuran, refleksi diri yang tidak sempurna, atau realitas  terpecah.Â
Sedangkan kopi dan sawah merupakan  anasir kehidupan sederhana, membumi, menunjukkan keintiman dan keterhubungan terhadap alam.