Masa pacaran saya dengan Ibu Negara Omah Ampiran berlangsung lebih dari tiga tahun. Ini terjadi dalam rangka memahami latar belakang masing-masing keluarga, di samping merupakan upaya "mengambil hati" dari kedua keluarga. Situasi tersebut merupakan jurus jitu mencapai kompromi-kompromi demi berlangsungnya pernikahan.
"Nuwun sewu, kula lan kaluwarga namung saged nyaosi arto kagem tumbas kangkung kagem samangkenipun-Maaf , kami sekeluarga hanya mampu memberi uang untuk membeli kangkung untuk acara pernikahannya," jelas ayah di tengah keluarga besar pihak besan saat acara tunangan.
Hal itu terjadi tiga puluh tahun silam. Berbeda dengan saat Genduk, Â anak perempuan saya dan Ibu Negara Omah Ampiran, Â menikah tahun 2020. Keluarga besar yang sudah saling mengenal, tidak terlalu dipusingkan oleh persoalan mahar.Â
Situasi ini terjadi karena generasi yang lahir tahun 1990-an menghitung biaya pernikahan dengan  realitis. Mereka lebih terbuka. Angka-angka pengeluaran itulah yang mereka sodorkan ke orang tua.Â
Saya dan pihak besan tinggal urunan mencukupi biaya pelaksanaa  pernikahan. Kalaupun pada akhirnya uang anggaran berlebih, diberikan kepada anak-anak sebagai modal mengarungi bahtera hidup baru.
Saat menikah pun usia Genduk sudah lebih dari dua puluh lima tahun. Hal ini terjadi karena ia lebih sibuk meniti karir, memasuki dunia kerja. Genduk tak ingin buru-buru menikah karena merasa bahwa menikah dapat menghambat pencapaian karir, bahkan menurunkan kesempatan kerja.
Ia juga diuntungkan karena tekanan sosial untuk menikah pada usia tertentu tidak lagi sekuat pada tahun 1980-an. Semakin ke sini, Â tekanan tersebut berkurang.Â
Generasi muda sekarang merasa lebih bebas menentukan kapan dan apakah mereka ingin menikah atau tidak, tanpa perlu mengkhawatirkan pandangan negatif dari masyarakat.
Di sisi lain, terjadi perubahan  cara pandang masyarakat terhadap pernikahan. Menikah bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya tujuan hidup atau simbol kesuksesan sosial. Banyak yang merasa bahwa kebahagiaan pribadi, kemandirian, dan pencapaian lain dapat menjadi fokus hidup, tanpa perlu mengikat diri dalam pernikahan.
Pun juga, seandainya menikah, kehidupan "bebas" tanpa tergesa-gesa memiliki keturunan  bisa menjadi alternatif pilihan.Â
Jangan heran jika kemudian banyak pasangan muda yang memilih childfree. Fenomena childfree- memilih untuk tidak punya anak-kini semakin meningkat di Indonesia.Â
Berdasarkan data BPS 2023, ternyata 8,2% perempuan usia subur memilih hidup tanpa anak (dilansir dari detikcom). Tren ini setidaknya terlihat di beberapa wilayah seperti DKI Jakarta (14,3%), Jawa Barat (11,3%), dan Banten (15,3%).