Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjauhkan Kesendirian dalam Pernikahan

5 November 2024   08:50 Diperbarui: 5 November 2024   09:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jangan pernah menikah kalau hanya menimbulkan penderitaan baru," begitulah pesan orang tua saat saya akan menikahi Ibu Negara Omah Ampiran.  Nasihat tersebut menjadi motivasi bagaimana saya harus ngopeni diri sendiri, isteri,  dan rumah tangga dengan tidak mengecewakan harapan orang tua serta orang-orang terdekat.

Saat ini sudah tiga puluh tahun lebih usia pernikahan kami dan semua berjalan baik-baik saja. Kalau toh  ada riak-riak kecil persoalan dalam rumah tangga, bukankah hal itu terjadi sebagai proses pendewasaan berumah tangga?  

Riak-riak kecil itu kami jaga agar tidak menjadi gelombang besar yang mampu meruntuhkan bangunan kokoh cinta sejati. Terlebih setelah diberi  momongan. 

Jujur, saya tak ingin terjebak dalam perangkap lonely marriage setelah langkah panjang pernikahan. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan tanpa kesepakatan dan penyesuaian diri dengan Ibu Negara. 

Bagi saya, modal utama untuk tidak merasa sepi, sendiri, sunyi, setelah mengarungi bahtera rumah tangga adalah komitmen untuk selalu bersama dengan pasangan dan anak-anak. Baik kebersamaan dalam pemikiran, emosional, maupun minat.

Kebersamaan bukan terbatas kegiatan merayakan tanggal-tanggal istimewa, seperti ulang tahun kelahiran, pernikahan, hari raya, pakansi bersama, tetapi juga saat mengambil keputusan besar. 

Ketika ingin keluar dari omah tabon (rumah milik orang tua), misalnya, saya yang semula bersikeras tidak ingin hidup di lingkungan perumahan-konon tetangga selalu rese-toh pada akhirnya harus berpikir jernih, mengikuti pikiran logis wanita pendamping.

"Anggapan orang tentang hidup di perumahan belum tentu benar, Mas. Sekarang uang kita terbatas. Jika beli tanah, besok-besok memikirkan beli material bangunan, cari tukang, bayar tukang. Mendingan juga cari perumahan. Kita tahunya beres, rumah siap huni, tinggal mengangsur lewat KPR," desak Ibu Negara Omah Ampiran.

Akhirnya kami bersepakat mengambil perumahan pada awal tahun 1990-an dengan uang muka dari tabungan plus hutang koperasi. Uang muka dimaksimalkan, sehingga angsuran per bulannya tidak lebih dari  sepertiga  gaji. 

Benar kata Ibu Negara, hidup di perumahan ternyata tidak semengerikan dalam bayangan. Justeru sebaliknya, kami hidup rukun dan guyub dengan tetangga perumahan maupun tetangga desa. Tentu dukungan Ibu Negara begitu besar demi mendapatkan rumah hunian dan meyakinkan saya bahwa semua akan baik-baik saja.

Rumah lewat KPR/Foto: Hermard
Rumah lewat KPR/Foto: Hermard
Setelah dua puluh tahun lebih hidup di perumahan, berlokasi di pedesaan, dan anak-anak ada yang sudah bekerja serta ada pula yang masih kuliah, kami harus pindah rumah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun