Dalam mencari hunian baru pun, keputusannya tidak tergantung kepada kepala keluarga, tapi saya dan Ibu Negara berunding dengan melibatkan anak-anak untuk menentukan lokasi, bentuk, dan konsep rumah yang akan dibeli.Â
Begitulah, akhirnya keriuhan rembugan ayah, ibu, dan anak-anak terjadi. Inilah cara saya melakukan komunikasi terbuka untuk mengambil keputusan sekaligus meramaikan kehidupan rumah tangga. Sekarang kami menempati Omah Ampiran yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta.
Omah Ampiran kami pilih karena lokasinya mudah dijangkau, suasananya tenang, sehingga saya dan Ibu Negara dapat mengundang teman-teman untuk mengembangkan hobi masing-masing.Â
Ibu Negara bersama komunitas Ayu Sulam, beranggotakan emak-emak gaul, dengan kegiatam menyulam, merajut, dan menjahit. Sedangkan saya berkumpul dengan praktisi sastra, penulis, guru, penerbit, dan berbagai komunitas.Â
Teras rumah sengaja kami jadikan ruang tamu terbuka, sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk ngobrol, melakukan aktivitas apa pun. Begitulah keseruan terjadi setiap kali teman-teman ke rumah, bahkan komunitas Ayu Sulam pun mengenal para penulis dan praktisi sastra karena bersamaan waktu beramah tamah di Omah Ampiran.
Saya dan Ibu Negara mempunyai cara tersendiri jika harus menyelesaikan persoalan "serius", baik menyangkut kami berdua maupun anak-anak. Biasanya kami akan berbicara dari hati ke hati di sela-sela jalan pagi berkeliling kampung.Â
Atau terkadang sambil makan siang di luar. Jika pas di rumah sepi setelah anak-anak berangkat bekerja, maka pembicaraan kami lakukan sambil ngopi atau nge-game. Bagi kami, persoalan serius sebaiknya diselesaikan dengan cara santai agar tidak terbawa emosi, sambil meluangkan waktu berduaan.
Kode atau bahasa cinta yang kami bangun adalah dengan memperhatikan kesenangan timbal balik. Menyenangkan Ibu Negara cukup dengan mengajak belanja ke pasar tradisional, toko benang, toko buku, sesekali keluar kota yang bisa di tempuh sekitar satu sampai tiga jam. Di kota-kota kecil itu biasanya kami berburu jajanan atau kuliner tradisional kesukaan Ibu Negara.
Sebaliknya, Ibu Negara selalu menemani jika saya keluar malam menghadiri pertunjukan sastra. Selebihnya Ibu Negara selalu turun ke dapur "masak seadanya" atau sekadar membuatkan kopi untuk teman-teman praktisi sastra yang mampir.
Saling memahami dalam bahasa cinta, tentu kian mendekatkan saya dan Ibu Negara, masing-masing merasa dihargai dan membutuhkan. Dengan kata lain, koneksi emosional yang kuat, ternyata mampu menjaga keintiman kami di tengah menjalani rutinitas sehari-hari.
Bersinergi memberi dukungan merupakan hal penting untuk menjaga kebersamaan. Dukungan berupa tindakan nyata (action) yang dilakukan, tidak sekadar ujaran atau sebatas perkataan.Â