Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra

24 Oktober 2024   16:42 Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:38 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Azimat-Siasat/Foto: Fitri Merawati

Judul tulisan ini sama persis dengan apa yang terpampang di bagian depan gedung MCC Tepi Sabin, Tegalrejo RT 03, Kelurahan Bawuran, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul. Bangunan tersebut dijadikan tempat pelaksanaan pameran Azimat-Siasat dalam rangka perhelatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2024. Pameran Azimat-Siasat merupakan pameran seni rupa dan arsip lini masa sastra yang memperlihatkan gerak dinamika sastra di Yogyakarta pasca kemerdekaan hingga kini.

Untuk menyamakan persepsi pengunjung, maka di salah satu dinding gedung, panitia mencatatkan semacam visi menyangkut pameran arsip sastra lewat baliho besar: Ibarat wastra lungsed ing sampiran, pakaian lusuh di gantungan; arsip sastra Yogyakarta yang tak ternilai harganya akan bernasib malang jika tidak dipergunakan. 

Padahal, dinamika sastra di Yogyakarta selama ini telah memberi sumbangsih yang berarti di dalam arena sastra Indonesia. Tidak hanya untuk dilirik, keping-keping sejarah sastra Yogyakarta menarik untuk ditilik. Sebuah jejaring dari divergensi keberadaan arsip sastra dibutuhkan demi mewujudkan cita-cita andaikata Yogyakarta punya museum sastra.

Azimat-Siasat/Foto: Fitri Merawati
Azimat-Siasat/Foto: Fitri Merawati
Keinginan mewujudkan museum sastra dan ungkapan wastra lungsed ing sampiran, mengingatkan pada gagasan yang pernah saya tulis di harian Kompas edisi Yogyakarta hampir dua puluhan tahun silam. Lewat tulisan "Pusat Dokumentasi Sastra: Why Not...?" (Kompas, 10 Mei 2005).

Secara personal saya mengungkapkan persoalan mengapa kota Yogyakarta sebagai kota budaya, seni, dan sastra, tidak mempunyai Pusat Dokumentasi Sastra? Kalah telak dengan Jakarta sebagai ibu kota sekaligus kota metropolis yang memiliki Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. 

Padahal kota Yogyakarta banyak memunculkan seniman dan sastrawan-sastrawan besar serta berpengaruh di Indonesia. Sebut saja misalnya Umar Kayam, Linus Suryadi Ag, Umbu Landu Paranggi, Kuntowijoyo, Ragil Suwarno Pragolapati, Rendra, dan Emha Ainun Nadjib. 

Bahkan sastrawan besar yang kemudian tinggal dan menetap di Jakarta, mereka pernah berproses kreatif di Yogyakarta yang dijadikan semacam kawah candradimuka.

Sebut saja nama Sapardi Djoko Damono, Soebagio Sastrowardoyo, Satyagraha Hoerip, Putu Wijaya, semua sastrawan Indonesia papan atas itu, proses kreatifnya tidak dapat dilepaskan dari kota bernama Yogyakarta.

Arsip sastra Yogyakarta/Foto: Devi Puspitasari
Arsip sastra Yogyakarta/Foto: Devi Puspitasari
Saat itu gagasan yang saya lontarkan hanya sebatas pusat dokumentasi, bukan museum. Artinya apa yang saya kedepankan terasa lebih sederhana, berkaitan dengan upaya mendokumentasikan bahan-bahan tekstual. 

Sedangkan kehadiran museum sastra masih dalam awangan ngaluk-aluk, nggedabyah, karena kehadirannya tidak saja memerlukan dukungan koleksi tekstual hasil kerja kreatif, melainkan harus berurusan dengan persoalan di luar tekstual, misalnya saja benda-benda memorabilia atau kenangan berkenanaan dengan kehidupan sastrawan. Di samping itu pengelolaan museum memerlukan dana, pemikiran, dan tenaga yang tidak kepalang tanggung.

Diskusi Wicara Sastra/Foto: dokpri Hermard
Diskusi Wicara Sastra/Foto: dokpri Hermard
Dalam diskusi Wicara Sastra Festival Kebudayaan Yogyakarta bertema "Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra" di MCC Tepi Sabin, Bawuran, Pleret (16/10/2024), Esha Tegar Putra (Sastrawan dan Peneliti) yang pernah bekerja di bagian arsip Dewan Kesenian Jakarta, menyayangkan jika museum sastra hanya berisi teks sastra.

Museum Nasional (Museum Gajah) pernah meminta dirinya untuk mempresentasikan bagaimana menghadirkan pameran sastra-peta perjalanan sastra Indonesia- di ruang tetap museum. 

"Sebenarnya kita tidak punya imaji bagaimana menghadirkan sastra di museum. Teman-teman tidak bisa membayangkan bagaimana menghadirkan sastra di ruang pameran. Kita punya persoalan dengan proses pengkurasian untuk pameran karya sastra. Karena lingkaran pembayangan teman-teman, media pameran sastra hanya sebatas teks sastra," ujar Esha.

Esha dan Raudal/Foto: dokpri Hermard
Esha dan Raudal/Foto: dokpri Hermard
Selebihnya, lelaki berkaca mata itu menyatakan bahwa kesulitan menghadirkan museum sastra karena para sastrawan tidak mudah bersinergi dengan teman-teman dari disiplin lain. Padahal hakikat museum sastra itu tidak sebatas tekstual. Harus ada ruang pamer sastra yang juga berkaitan dengan teman-teman dari seni rupa dan disiplin lainnya.

Museum sastra Yogyakarta, kalau terwujud, sebaiknya hanya merepresentasikan sastra Indonesia di Yogyakarta agar pengelolaannya lebih mudah. Kemungkinan saja museum sastra bisa terwujud karena banyak teman-teman di Yogya merupakan arsiparis. Selebihnya, Yogya merupakan rumah para sastrawan (Esha)

Narasumber lain, Raudal Tanjung Banua (sastrawan, Komunitas Rumah Lebah) dan Muhidin M Dahlan (dokumentator partikelir Warung Arsip) sepakat bahwa mendirikan museum sastra merupakan kerja besar yang tidak mudah diwujudkan.

"Tidak pernah ada situs-situs sastra yang tercantum dalam peta kota Yogyakarta, informasi-informasi tempat wisata, sebagaimana jamak kita temukan di Eropa. Saya membaca dengan intens catatan perjalanan Sigit Susanto dan Anton Kurnia yang punya minat khusus mengunjungi situs-situs sastra di sejumlah negara di Eropa," papar Raudal.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa situs-situs sastra, termasuk rumah-rumah para sastrawan (tempat melahirkan karya-karya masterpiece), kafe tempat nongkrong, termasuk makam para sastrawan itu semua mudah ditemukan di luar negeri karena dicantumkan secara resmi di peta kota.

Dalam catatan perjalanan Sigit maupun Anton, tidak pernah ditemukan pengertian museum sastra secara menyeluruh, utuh. Tetapi lebih lebih kepada perorangan, person-person sebagai sastrawan. Rumah tinggal sastrawan dijadikan museum yang kemudian dihubungkan dengan berbagai titik tempat sastrawan tersebut berproses kreatif.

"Jadi cita-cita mendirikan museum sastra secara general tampaknya tidak mudah diwujudkan. Kenyataannya di luar negeri, museum sastra dipahami secara gradual personal berupa situs-situs sastra perorangan," ujar Raudal.

Langkah terbaik untuk mendirikan museum sastra adalah menyadarkan masyarakat luas bahwa situs-situs sastrawan di Yogya itu ada dan penting. Tradisi penghormatan terhadap sastrawan juga perlu dilakukan.

Sayangnya, banyak indikasi yang menunjukan bahwa nama-nama sastrawan ternyata tidak dikenal, tidak layak jual, dan penghargaan terhadap sastrawan sangat minim. 

Penyair Joko Pinurbo (Jokpin), misalnya, baru dikenali masyarakat dan pengurus kampung Wirobrajan sebagai sastrawan besar setelah Jokpin berpulang ke alam keabadian.

Sebagai tanda penghormatan masyarakat Wirobrajan terhadap Jokpin, maka jalan menuju ke rumah penyair kondang itu diberi nama Gang Joko Pinurbo. Kalau sudah begini apakah kita punya modal atau spirit untuk mendirikan museum sastra?

Tentu saja sikap pesimistis ini bisa saja kita halau jauh-jauh dengan melihat kenyataan bahwa Rumah Puisi Taufik Ismail di Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi, diperluas menjadi Museum Sastra Indonesia (yang pertama dan satu-satunya di Indonesia saat ini) dan akan diresmikan pada tanggal 30 Oktober 2024 oleh Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia. 

Harapannya tentu saja museum itu tidak hanya berisi karya-karya Taufik Ismail, tetapi mencakupi pengarang seluruh Indonesia. Isi museum pun tidak dipenuhi dengan koleksi tekstual, mempunyai ruang pamer tetap dan berkala, mengoleksi benda-benda memorabilia sastrawan, dan memiliki kurator yang mumpuni.

Situs sastra makam seniman Yogyakarta/Foto: Hermard
Situs sastra makam seniman Yogyakarta/Foto: Hermard
Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah punya Senisono, Umbu Landu Paranggi, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa memiliki banyak komunitas sastra, perguruan tinggi seni dan sastra, dukungan media publikasi, dan punya dana keistimewaan, benarkah tidak mampu mewujudkan museum sastra? Setidaknya pusat dokumentasi sastra Yogyakarta?

Kalaupun masih dirasa berlebihan, cukuplah menjadikan rumah para sastrawan sebagai situs sastra dengan titik akses yang mudah diketahui dan dijangkau masyarakat luas.

Dokumentasi sastra Yogyakarta/Foto: Latief S Nugraha
Dokumentasi sastra Yogyakarta/Foto: Latief S Nugraha
Deretan kata di baliho besar pameran, saya kutip kembali untuk menutup tulisan ini: "Seni ibarat azimat sekaligus siasat! Oleh karenanya, "Azimat-Siasat" (di)hadir(kan), dimaknai, dan diyakini sebagai suatu pegangan dalam mewujudkan gagasan maupun menjalankan praktik dialektik berkesenian di tengah realitas yang terus-menerus. 

Representasi karya seni dalam konteks warisan budaya benda (tangible) dan takbenda (intangible) menyimpan daya (untuk) hidup dan menghidupi pencipta serta penggunanya.

Pada saat yang sama, karya seni memiliki nalar pascabenda yang memperlihatkan lanskap wacana ke depan dan mempertanyakan ulang memori kolektif suatu realitas peristiwa wujud dari pengetahuan.

Suatu hasil seni yang demikian itu ada di dalam seni rupa, sastra, dan apa saja yang memiliki kemungkinan untuk dicapai, meski mustahil mutlak..."(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun