Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra

24 Oktober 2024   16:42 Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:38 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Azimat-Siasat/Foto: Fitri Merawati

Sebagai tanda penghormatan masyarakat Wirobrajan terhadap Jokpin, maka jalan menuju ke rumah penyair kondang itu diberi nama Gang Joko Pinurbo. Kalau sudah begini apakah kita punya modal atau spirit untuk mendirikan museum sastra?

Tentu saja sikap pesimistis ini bisa saja kita halau jauh-jauh dengan melihat kenyataan bahwa Rumah Puisi Taufik Ismail di Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi, diperluas menjadi Museum Sastra Indonesia (yang pertama dan satu-satunya di Indonesia saat ini) dan akan diresmikan pada tanggal 30 Oktober 2024 oleh Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia. 

Harapannya tentu saja museum itu tidak hanya berisi karya-karya Taufik Ismail, tetapi mencakupi pengarang seluruh Indonesia. Isi museum pun tidak dipenuhi dengan koleksi tekstual, mempunyai ruang pamer tetap dan berkala, mengoleksi benda-benda memorabilia sastrawan, dan memiliki kurator yang mumpuni.

Situs sastra makam seniman Yogyakarta/Foto: Hermard
Situs sastra makam seniman Yogyakarta/Foto: Hermard
Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah punya Senisono, Umbu Landu Paranggi, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa memiliki banyak komunitas sastra, perguruan tinggi seni dan sastra, dukungan media publikasi, dan punya dana keistimewaan, benarkah tidak mampu mewujudkan museum sastra? Setidaknya pusat dokumentasi sastra Yogyakarta?

Kalaupun masih dirasa berlebihan, cukuplah menjadikan rumah para sastrawan sebagai situs sastra dengan titik akses yang mudah diketahui dan dijangkau masyarakat luas.

Dokumentasi sastra Yogyakarta/Foto: Latief S Nugraha
Dokumentasi sastra Yogyakarta/Foto: Latief S Nugraha
Deretan kata di baliho besar pameran, saya kutip kembali untuk menutup tulisan ini: "Seni ibarat azimat sekaligus siasat! Oleh karenanya, "Azimat-Siasat" (di)hadir(kan), dimaknai, dan diyakini sebagai suatu pegangan dalam mewujudkan gagasan maupun menjalankan praktik dialektik berkesenian di tengah realitas yang terus-menerus. 

Representasi karya seni dalam konteks warisan budaya benda (tangible) dan takbenda (intangible) menyimpan daya (untuk) hidup dan menghidupi pencipta serta penggunanya.

Pada saat yang sama, karya seni memiliki nalar pascabenda yang memperlihatkan lanskap wacana ke depan dan mempertanyakan ulang memori kolektif suatu realitas peristiwa wujud dari pengetahuan.

Suatu hasil seni yang demikian itu ada di dalam seni rupa, sastra, dan apa saja yang memiliki kemungkinan untuk dicapai, meski mustahil mutlak..."(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun