Sebagai tanda penghormatan masyarakat Wirobrajan terhadap Jokpin, maka jalan menuju ke rumah penyair kondang itu diberi nama Gang Joko Pinurbo. Kalau sudah begini apakah kita punya modal atau spirit untuk mendirikan museum sastra?
Tentu saja sikap pesimistis ini bisa saja kita halau jauh-jauh dengan melihat kenyataan bahwa Rumah Puisi Taufik Ismail di Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi, diperluas menjadi Museum Sastra Indonesia (yang pertama dan satu-satunya di Indonesia saat ini) dan akan diresmikan pada tanggal 30 Oktober 2024 oleh Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia.Â
Harapannya tentu saja museum itu tidak hanya berisi karya-karya Taufik Ismail, tetapi mencakupi pengarang seluruh Indonesia. Isi museum pun tidak dipenuhi dengan koleksi tekstual, mempunyai ruang pamer tetap dan berkala, mengoleksi benda-benda memorabilia sastrawan, dan memiliki kurator yang mumpuni.
Kalaupun masih dirasa berlebihan, cukuplah menjadikan rumah para sastrawan sebagai situs sastra dengan titik akses yang mudah diketahui dan dijangkau masyarakat luas.
Representasi karya seni dalam konteks warisan budaya benda (tangible) dan takbenda (intangible) menyimpan daya (untuk) hidup dan menghidupi pencipta serta penggunanya.
Pada saat yang sama, karya seni memiliki nalar pascabenda yang memperlihatkan lanskap wacana ke depan dan mempertanyakan ulang memori kolektif suatu realitas peristiwa wujud dari pengetahuan.
Suatu hasil seni yang demikian itu ada di dalam seni rupa, sastra, dan apa saja yang memiliki kemungkinan untuk dicapai, meski mustahil mutlak..."(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI