Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Kata dan Bunyi dalam Pembacaan Puisi

8 Oktober 2024   22:34 Diperbarui: 8 Oktober 2024   22:53 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam acara Apresiasi Pemahaman dan Pemaknaan Kata yang diselenggarakan Rumah Literasi Blora bekerja sama dengan Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (8/10/2024) bertempat di Joglo Herman, Blora, Herry Mardianto mengungkapkan tugas pembaca adalah merealisasikan kata atau kalimat yang tertulis agar dapat dikenali, diidentifikasi, dan dimengerti audience. Supaya   puisi  dapat dipahami dan dinikmati dengan baik, maka pembaca dituntut  memberikan bentuk realisasi estetik kepada keseluruhan bunyi  dalam sebuah karya sastra.

Tidak dapat dipungkiri jika hakikat membaca puisi adalah merealisasikan kembali perwujudan bunyi  yang semula tertuang dalam bentuk lambang atau huruf. Oleh sebab itu, membaca puisi tidak lepas dari upaya mengungkapkan kembali ide pengarang dengan perantaraan bunyi-bunyi bahasa yang indah dan mengesankan. 

Keindahan bunyi-bunyi bahasa setidaknya ditentukan oleh volume, nada, speed, dan timbre. Dengan kata lain, membaca merupakan kegiatan berkreasi dalam ranah vokalisasi. Seorang pembaca harus berkreasi agar dapat mengekspresikan teks puisi dengan baik,   pembaca  mampu "menghidupkan"  atau "memberi nyawa" dalam bentuk lisan.

Disinggung pula bahwa dalam pembacaan sastra (puisi) ada dua hal penting yang harus dipahami. Pertama, dunia pengungkapan ide dan  kedua adalah dunia pertunjukan seni. Artinya dalam pembacaan puisi, maka proses interpretasi harus dilakukan untuk memahami gagasan penulis (penyair).

Sedangkan di wilayah seni pertunjukan, seorang pembaca harus memahami berbagai media pendukung yang mampu mewujudkan kualitas dan intensitas vokal, gerak, permainan, serta penikmatan. Media tersebut dapat berupa tempat/seting, lighting, illustrasi musik, sound effect, kostum, dan make up.

Berdayalah Kata-kata/Foto: Hermard
Berdayalah Kata-kata/Foto: Hermard
Dalam sesi kedua, Landung Simatupang memaparkan bahwa membaca puisi merupakan alih media dari dunia teks ke dunia panggung. Tuntutannya jangan memperalat puisi menjadi tunggangan pembaca, sehingga yang diingat penonton adalah pembacanya, bukan puisi yang dibacakan.

Penyuaraan puisi atau prosa, mengajak kita kembali ke dunia purba. Kembali ke situasi ketika belum ada tulisan. Kata adalah bunyi, bagaimanapun sastra  bukan sekadar  tulisan tapi yang lebih penting perwujudannya dalam bunyi.
Bunyi kata itu memiliki daya. Berbagai rapal meskipun hanya berupa bunyi-bunyian, tidak dapat dipahami artinya, tetapi memiliki daya atau tuah.

Makna bahasa sastra tidak hanya kognitif, tetapi juga memiliki makna afektif dan emotif. Ada dinamika dan roh tersendiri dalam pengucapan, pembacaan sastra.

"Membaca dan membacakan mempunyai  makna berbeda. Membaca bisa melibatkan batin, sedangkan membacakan melibatkan orang lain, mengolah kemampuan dalam  vokalisasi."

Tuntutan membaca adalah menafsir, memahami, memberi makna, dan membacakannya. Kalimat tulis ketika dibacakan akan menimbulkan banyak penafsiran, tergantung intonasi dan konteksnya. Penyampaian bunyi itu serurut dengan penafsiran pembaca.

Tidak semua kata dalam kalimat itu penting. Harus ada jeda untuk memberi penekanan. Penonjolan itu ditentukan juga oleh kontras, tinggi rendah pengucapan.

Dalam memberi kesan dan pesan pelaksanaan kegiatan, Tri Yuli (SMA Negeri 1 Blora) menyatakan senang terlibat dalam kegiatan ini karena mampu membangkitkan kreativitas para guru. Terlebih materi yang diberikan belum pernah didapatkan. Para guru haus materi penulisan dan pembacaan seperti yang disampaikan para pemateri. Semua memberi makanan jiwa. Kepada Rumah Literasi Blora, semoga dapat memberi kesempatan lagi bagi komunitas literasi di Blora untuk mengembangkan wawasan di bidang kebahasaan dan kesastraan.

Mengunjungi Pataba/Foto: Hermard
Mengunjungi Pataba/Foto: Hermard
Acara diakhiri dengan kunjungan lima puluh peserta ke Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Bangsa  (PATABA) didampingi pengurus Rumah Literasi Blora. Kedatangan rombongan disambut Pak Soesilo, adik Pramoedya.

"Hidup saya penuh kegagalan, tetapi kegagalan itu saya anggap sebagai dagelan. Lima ijazah saya tidak diakui, lha ini apa maunya pemerintah. Hidup ini hanya lelucon saja...," kelakar Pak Soes.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun