Kalau boleh jujur, dalam beberapa kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah, entah itu Walikota, Bupati beserta wakilnya, Anggota Legislatif-maaf di tempat saya tidak ada pemilihan Gubernur- saya bertingkah seperti Si Polan yang membeli kucing dalam karung, tebak-tebak buah manggis. Setidak-tidaknya saya mencoblos nama yang pernah saya dengar atau sosok yang fotonya sempat saya lihat di koran, media sosial, layar televisi, baliho, dan merasa orang tersebut pernah berbuat sesuatu untuk kota saya.
Penentuan siapa yang akan saya coblos berlangsung secara spontan, Â hanya beberapa menit saat berada di bilik suara. Hal ini saya lakukan sekadar menggunakan hak suara, biar tidak dicurigai sebagai anggota barisan panjang golput. Atau secara politis, saya sudah melaksanakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat.
Sebelum melakukan pencoblosan pun saya dibayang-bayangi idealisme positif bahwa perhelatan tersebut diselenggarakan sebagai bukti partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pemerintahan daerah, memperkuat keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Meskipun saya sebagai masyarakat benar-benar tidak tahu secara pasti program kerja yang  ditawarkan para calon pemimpin daerah.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga merupakan kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat dalam memperkuat fondasi demokrasi lokal menuju Indonesia  lebih maju dan sejahtera.Â
Pertanyaannya, apakah masyarakat kita sudah menyadari sepenuhnya hakikat demokrasi? Mengapa pada tahapan awal, saat pengundian nomor urut peserta Pilkada, sudah terjadi gegeran di beberapa daerah?Â
Jangan-jangan apa yang diungkapkan Mochtar Lubis mengenai ciri masyarakat Indonesia, salah satunya masyarakat yang barbar, menemui kebenarannya. Buktinya, soal nomor urut saja mampu memantik emosi.Â
Di sisi lain, para remaja suka tawuran, orang dewasa serempetan mobil di jalan raya, seketika memamerkan arogansi berlebihan, salah paham sedikit saja gegeran, hantam kayu, main keroyokan...
Janji-janji Manis
Tidak dapat dipungkiri bahwa Pilkada merupakan salah satu instrumen demokrasi yang penting di Indonesia dalam  menentukan pemimpin daerah. Eloknya, di balik praktik pesta demokrasi, selalu diwarnai dengan janji-janji manis guna menarik perhatian masyarakat calon pemilih.Â
Janji-janji manis calon pemimpin daerah itu berkaitan dengan  peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, penyediaan air bersih, pendidikan gratis, peningkatan kesehatan, bantuan dana pengembangan desa, internet gratis, hingga menciptakan berbagai lapangan pekerjaan untuk meminimalisir pengangguran.
Program kerja yang ditawarkan pun  terasa begitu manis di bibir, berpihak kepada masyarakat-wong cilik, seakan-akan semua masalah pelik dapat teratasi dengan mudah asal mereka terpilih sebagai orang nomor satu atau nomor dua di daerah. Sejurus kemudian, saya teringat dengan bahasa iklan pegadaian yang cukup memasyarakat: (mereka) mampu mengatasi masalah tanpa masalah!
Meskipun bisa jadi, janji manis para calon pemimpin daerah  hanya diumbar selama dua bulan  masa kampanye dan setelah itu  menguap entah ke mana.
Setelah terpilih menjadi pemimpin di daerah, ternyata tidak semua janji manis yang diucapkan dapat direalisasikan. Tentu saja dengan berbagai alasan, misalnya keterbatasan anggaran, permasalahan birokrasi, atau kondisi politik-ekonomi yang belum memungkinkan untuk merealisasikan janji-janji mereka. Â
Kondisi tersebut berimbas kepada situasi tidak terjadinya perubahan seperti yang diharapkan masyarakat pemilih, terutama wong cilik yang nasibnya nut kahanan-tergantung keadaan.
Bayang-Bayang Kecurangan
Selain janji-janji manis, Pilkada juga sering kali dibayangi oleh berbagai bentuk kecurangan. Contoh konkret, dalam acara deklarasi kampanye damai, sudah ada yang membagi-bagikan uang. Bukankah ini termasuk money politics yang melanggar aturan?Â
Pun saat blusukan ada yang salaman sambil menyelipkan uang di tangan mereka. Atau ada pihak-pihak tertentu mengadakan "serangan fajar" sebelum hari pencoblosan.
Bukankah sesungguhnya kecurangan semacam ini mencederai proses demokrasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik? Ironisnya, praktik semacam ini kadang-kadang dianggap "wajar" oleh sebagian masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi.Â
Mereka merasa bahwa menerima uang merupakan satu-satunya cara  mendapatkan sesuatu (di samping kaos oblong) dari perhelatan pemilihan, meskipun dalam jangka panjang, praktik ini justru merugikan mereka sendiri.
Setelah Pilkada usai, kepala daerah terpilih, orang nomor satu di daerah, Â harus menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan pemerintahan. Di satu sisi, harus memenuhi janji-janji manis selama kampanye, sedangkan di sisi lain, berhadapan dengan realitas anggaran, kebijakan pemerintah pusat, serta dinamika sosial, ekonomi, dan politik lokal maupun nasional.
Banyak masyarakat yang menaruh harapan agar Pilkada  menjadi momentum untuk memperbaiki kehidupan mereka. Tapi kenyataannya, ketika janji-janji manis tidak terpenuhi dan kecurangan menjadi hal biasa, nasib masyarakat  bawah tidak mengalami perubahan signifikan. Bisa saja aspirasi mereka terabaikan, terlindas oleh kepentingan elit politik.
Solusi
Meskipun berbagai masalah  mengiringi pelaksanaan Pilkada, masih terbersit harapan terhadap proses demokrasi yang lebih baik. Masyarakat seyogianya memiliki sikap kritis dalam memilih pemimpin, tidak mudah terpikat oleh janji-janji manis kampanye. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap kecurangan pemilu diperketat agar Pilkada benar-benar menjadi alat demokrasi yang bersih dan transparan.
Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat terus digencarkan. Karena hal itu akan menjadi kunci dalam menciptakan pemilih yang cerdas. Jika masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya, serta berani melawan politik uang dan kecurangan, diharapkan Pilkada akan menjadi ajang demokrasi yang lebih bermartabat.Â
Hanya dengan pemilih yang memiliki sikap kritis dan berani, Â maka Pilkada dapat menjadi sarana dalam memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan nyata.Â
Bagaimana, sudahkah para sedulur Kompasiana siap berpartisipasi menciptakan Pilkada yang bersih dan bermartabat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI