Meskipun bisa jadi, janji manis para calon pemimpin daerah  hanya diumbar selama dua bulan  masa kampanye dan setelah itu  menguap entah ke mana.
Setelah terpilih menjadi pemimpin di daerah, ternyata tidak semua janji manis yang diucapkan dapat direalisasikan. Tentu saja dengan berbagai alasan, misalnya keterbatasan anggaran, permasalahan birokrasi, atau kondisi politik-ekonomi yang belum memungkinkan untuk merealisasikan janji-janji mereka. Â
Kondisi tersebut berimbas kepada situasi tidak terjadinya perubahan seperti yang diharapkan masyarakat pemilih, terutama wong cilik yang nasibnya nut kahanan-tergantung keadaan.
Bayang-Bayang Kecurangan
Selain janji-janji manis, Pilkada juga sering kali dibayangi oleh berbagai bentuk kecurangan. Contoh konkret, dalam acara deklarasi kampanye damai, sudah ada yang membagi-bagikan uang. Bukankah ini termasuk money politics yang melanggar aturan?Â
Pun saat blusukan ada yang salaman sambil menyelipkan uang di tangan mereka. Atau ada pihak-pihak tertentu mengadakan "serangan fajar" sebelum hari pencoblosan.
Bukankah sesungguhnya kecurangan semacam ini mencederai proses demokrasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik? Ironisnya, praktik semacam ini kadang-kadang dianggap "wajar" oleh sebagian masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi.Â
Mereka merasa bahwa menerima uang merupakan satu-satunya cara  mendapatkan sesuatu (di samping kaos oblong) dari perhelatan pemilihan, meskipun dalam jangka panjang, praktik ini justru merugikan mereka sendiri.
Setelah Pilkada usai, kepala daerah terpilih, orang nomor satu di daerah, Â harus menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan pemerintahan. Di satu sisi, harus memenuhi janji-janji manis selama kampanye, sedangkan di sisi lain, berhadapan dengan realitas anggaran, kebijakan pemerintah pusat, serta dinamika sosial, ekonomi, dan politik lokal maupun nasional.
Banyak masyarakat yang menaruh harapan agar Pilkada  menjadi momentum untuk memperbaiki kehidupan mereka. Tapi kenyataannya, ketika janji-janji manis tidak terpenuhi dan kecurangan menjadi hal biasa, nasib masyarakat  bawah tidak mengalami perubahan signifikan. Bisa saja aspirasi mereka terabaikan, terlindas oleh kepentingan elit politik.