"Lha untuk apa menulis kalau tidak  diterbitkan? Dan saya percaya, sekecil apa pun sastra, bisa menambah penghasilan," ujar pengagum Eddy D Iskandar mantap.
Meskipun memiliki latar belakang pendidikan Matematika, tetapi kecintaan mantan Koordinator Komite Sastra Dewan Kesenian Sleman, Yogyakarta, terhadap sastra tidak pernah padam.Â
Maklum saja, sejak kecil ia sudah akrab dengan kesenian tradisional karena ayahnya memiliki seperangkat gamelan dan hampir seluruh anggota keluarga ayahnya merupakan wiyaga (penabuh gamelan).Â
Dalam perkembangan waktu, ayah dari dua orang anak  ini merasa jika profesi wiyaga kalah mentereng dibadingkan sastrawan, maka ia berputar halauan menekuni dunia penulisan sastra. Meskipun begitu bukan berarti ia lantas meninggalkan  dunia karawitan sepenuhnya.Â
maestro" karawitan di wilayah Sleman.
Tahun 1983 ia kembali ke dunia karawitan, menjadi wiyaga, meskipun hanya sebagai sambilan. Dalam pementasan kethoprak "Pedhut ing Pereng Sumbing" (24/2/2023), Krishna unjuk kepiawaian  menabuh gambang di samping Mbah Kayat, "Lalu apa yang harus dilakukan sastrawan agar dapat pengakuan dari masyarakat luas dan lembaga pemerintah?
"Saya teringat dengan Mas Suwarno Pragolapati bahwa ujian terberat bagi seorang penyair adalah kesetiaan. Ketika seseorang tidak setia menulis puisi, maka ia bukan lagi penyair. Artinya kesetiaan menjadi sangat penting dan diperlukan dalam keberlanjutan menciptakan karya sastra," pungkas Krishna Mihardja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H