Bagi Yuli Purwati, perempuan paruh baya, pasar tradisional di pelosok desa merupakan memori, romansa yang paling membahagiakan. Aura pasar tradisional harus dijaga, meskipun mungkin saja akan hilang di masa mendatang. Kesadaran akan "kehilangan" pasar tradisional sudah diyakini Yuli Purwati (kerap disapa Yupi) sejak beberapa tahun silam.
"Pasar tradisional mungkin akan kalah bersaing dengan kehadiran supermarket dan pasar rakyat modern. Tapi saya yakin pasar tradisional yang berada di pelosok desa masih bisa bertahan," papar Yupi.
Kesenangan terhadap pasar tradisional karena saat kanak-kanak, terutama pada menjelang lebaran, sering diajak Simbah Putri ke pasar Nggesikan (Ngluwar) berjualan wade---kain batik/jarik dan keperluan berbusana perempuan.
Ketika sudah berkeluarga, perempuan yang sering menggubah puisi menjadi lagu ini, semakin tergila-gila terhadap pasar. Hal ini didukung oleh kegemaran Mas Endro, suami, yang hobi berburu barang bekas, lawasan.Â
Oleh sebab itu acara blusukan ke pasar-pasar tradisional kian menjadi kegiatan rutin yang menyenangkan. Terlebih mereka tinggal di perbatasan terluar Sleman (Yogyakarta) dan Ngluwar (Magelang, Jawa Tengah), tepatnya di Beteng, Bligo, Ngluwar, Magelang.
Dari sini mereka bebas menyusuri pasar tradisional yang berada di wilayah seputaran Sleman maupun Magelang. Semula perempuan yang juga relawan bencana alam ini hanya duduk menunggui sang suami saat mencari barang lawasan.Â
Tapi lama-kelamaan timbul hasrat mengabadikan kehidupan di pasar tradisional. Kemudian menjadi lapar mata mencari objek-objek dan kejadian-kejadian menarik berkaitan dengan aktivitas wong ndeso di pasar tradisional. Momen-momen keriuhan, tawar-menawar, kehangatan kebersamaan, keramahan wong cilik, dijadikan bidikan instagramable.
"Bagi saya, sesuatu yang instagramable itu bukan hanya berkaitan dengan tempat-tempat yang indah, mewah. Meskipun pasar tradisional terkesan kumuh, kotor, tetapi selalu ada objek-objek unik yang layak tayang di media sosial, sangat instagramable. Saya memberi rekomendasi pasar tradisional untuk menghasilkan foto-foto human interest," ujar Yupi.
tradisi/budaya tentang kehidupan masyarakat desa.Â
Perempuan penyuka tanaman hias itu tidak sekadar menghasilkan foto-foto human interest, tetapi ia juga berusaha membagikan pengetahuan mengenaiSaat mengabadikan foto seorang penjual ayam di Pasar Cebongan (Sleman) pas pasaran Kliwon, Yupi memberikan catatan bahwa ayam tersebut pasti hendak dijual. Sebagai penandanya ekor ayam ditaruh di depan.Â
Memang seperti itulah kode yang dipahami masyarakat desa jika ayam hendak dijual ke pasar. Cara itu merupakan petunjuk praktis (tak tertulis), turun temurun, yang dilakukan masyarakat pedesaan di Jawa. Terkadang belum sampai pasar, ayam sudah ditawar dan dibeli orang.
Dalam proses jual beli, seperti terjadi di Pasar Guthekan, utara jembatan gantung Duwet, Sleman, ada pembeli lain yang usianya sudah sepuh mengabarkan mengenai tradisi Jawa yang dijalaninya: Kene Nok. Ndang milih endi sing disenengi. Aku ngono mung arep kuluban. Arep nggudhangi putuku selapanan. Ya ora tak dhep, wong adoh parane. Le lahir bayeke nong nJambe Sumantrah kana---Ke sini Nok. Cepatlah pilih apa-apa yang disukai. Aku hanya ingin sayuran untuk urap/gudangan untuk selamatan cucu. Meskipun cucu berjauhan karena lahir di Jambi, Sumatera.
Dalam keluarga Jawa di pedesaan, meskipun anak cucu berada jauh dari pandangan mata (di seberang pulau), setiap orang tua (nenek) akan melakukan selamatan pada hari-hari tertentu bagi sang cucu.
Konon Pasar Guthekan pada masa lalu pernah dilalui pasukan Diponegoro saat menuju desa Beteng di Ngluwar. Desa itu dinamai Beteng karena terdapat benteng pasukan Pangeran Diponegoro untuk berlindung. Rute gerilya pasukan Diponegoro melintasi Pasar Guthekan sampai desa Beteng bisa dicermati dari kearsipan sejarah Magelang.
Memandangi foto-foto pasar tradisional bidikan Yupi, kita ditenggelamkan dalam keakraban sesrawungan orang-orang pasar yang adem ayem, dunia tradisi dengan mengutamakan kebersamaan dan ketenangan.
Bagi Yupi, jika kita ingin mendapatkan foto-foto yang bagus, bercerita, maka sebaiknya hunting ke pasar tradisional yang digelar menurut sistem pasaran Jawa. Hal ini karena akan banyak ekspresi spontan antara pedagang dan pembeli, terjadi transaksi aneka macam barang dagangan, dan terdapat momen-momen yang tak terduga dalam sesrawungan masyarakat tradisi.
Awalnya, kegiatan jual-beli masyarakat di Jawa berdasarkan pada sistem penanggalan atau pasaran Jawa, sehingga tempat-tempat (berkumpul untuk jual beli) itu disebut pasar.Â
Meski sekarang sudah tidak lazim (Diatami Muftiarini), beberapa pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta keberadaannya terus dipertahankan, seperti Pasar Kliwon Bantul, Pasar Pon Godean, Pasar Kliwon Cebongan, dan Pasar Legi Kotagede.Â
Biasanya jumlah pedagang dan pembeli di pasar berdasarkan pasaran Jawa akan mencapai puncaknya pada hari pasarannya. Barang-barang yang dijual berupa aneka hewan, tumbuh-tumbuhan, alat pertukangan/pertanian, klithikan, mainan, penjual obat herbal menggunakan pengeras suara, dan barang-barang bekas pakai.
Saya setuju dengan pemikiran bahwa sistem pasaran terhadap pasar tradisional merupakan peristiwa yang tidak boleh diabaikan. Selain menjadi sarana pemerataan agar pasar tradisional tetap hidup, juga merupakan upaya untuk menghidupi masyarakatnya.Â
Dengan adanya rotasi pasar tradisional (sesuai hari pasaran), menjadikan masyarakat dapat berkumpul dalam aktivitas jual beli tradisional.
Hasil pemotretan yang dilakukan Yupi, bisa saja menjadi dokumentasi penting saat pasar tradisional benar-benar bertransformasi menjadi pasar rakyat modern. Setidaknya itu akan terjadi setelah nantinya Pemkot Yogyakarta berhasil mengubah dua puluh sembilan pasar tradisional di DIY menjadi pasar modern. Hokya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H