Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bang Totok Keling: Ngeli ning Aja Nganti Keli

18 Agustus 2024   17:36 Diperbarui: 18 Agustus 2024   22:07 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa antologi yang memuat puisi Bang Totok/Foto: Hermard

Saya mengenal lelaki berbadan kurus itu sejak SMP (awal tahun tujuh puluhan) karena kami sama-sama menempuh pendidikan di sekolah swasta yang sama. Kedekatan kami karena ia benar-benar tidak bisa mengikuti pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal sekolah-sekolah di Yogyakarta pada waktu itu. 

Sebagai siswa lulusan sekolah dasar dari Sumatera, tentu saja pelajaran bahasa Jawa menjadi momok paling menakutkan. Terlebih kalau ada tugas menulis aksara Jawa, atau siswa diminta maju satu per satu nembang Mijil, Maskumambang, Asmaradana, atau lainnya. 

Giliran Bang Totok maju, pasti teman-teman sekelas menahan tawa karena nembang-nya seperti menghafalkan lagu pop dengan nada pating blasur alias berantakan. Kami sekelas berasa mendapat suguhan dagelan Srimulat gratis. 

Dibuat pusing aksara Jawa/Foto: dokpri Hermard
Dibuat pusing aksara Jawa/Foto: dokpri Hermard
Setiap kertas hasil ulangan bahasa Jawa dibagikan Pak Sastro, nilai yang didapatkan Bang Totok tak beringsut dari angka bebek (dapat nilai dua) dan paling tinggi kursi terbalik (alias nilai empat). Karena kasihan, saya mengajak anak nomor dua dari tiga bersaudara (lelaki semua) itu belajar bersama di tangsi Pingit. 

Orang tua saya kenal baik dengan eyangnya Bang Totok, pengusaha keseran (penyewaan gerobak) karena rumahnya tak jauh dari tangsi, di pinggir jalan Pangeran Diponegoro, berjarak hanya satu kilometer dari tangsi. Jadilah kami bersahabat baik karena keluarga juga saling mengenal.

Tiga sekawan saat SMA/Foto: dokpri Hermard
Tiga sekawan saat SMA/Foto: dokpri Hermard
Saat masuk SMA, saya nyaris tidak mendapatkan sekolahan, untung Bang Totok mengajak saya mendaftar di sekolah tempat ia sudah diterima menjadi murid baru. Jadilah kami satu sekolahan di SMA swasta. 

Penampilan Bang Totok tetap bersahaja, meskipun ia anak orang berada. Ayahnya menduduki jabatan kepala di salah satu kantor pelayanan umum, di Kuala Tungkal, Jambi.

Keluarga Bang Totok di Malioboro/Foto: dokpri Hermard
Keluarga Bang Totok di Malioboro/Foto: dokpri Hermard
Tak heran jika keluarganya mampu membeli rumah dengan luasan tanah lebih dari setengah hektar di kampung Jetisharjo, Yogyakarta. Di atasnya berdiri rumah magrong-magrong sebagai rumah tinggal dan tempat kos. 

Kalau sekarang ada orang akan menelisik keberadaan kos-kosan tertua di kampung itu, maka tidak bisa dilepaskan dari rumah milik keluarga Bang Totok.

Tidak seperti siswa lainnya yang berangkat ke sekolah naik sepeda motor, Bang Totok rela naik sepeda onthel. Padahal jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh, tidak kurang dari empat kilometer. 

Di sekolah, ia pun berlaku biasa saja, tidak ada sesuatu yang dipamerkan. Bahkan ia jarang jajan ke kantin. Bergaulnya pun tidak pilih-pilih teman. Seorang sahabat dekat terkaget-kaget ketika saya ajak main ke kediaman Bang Totok.

"Edan, jebul anake wong sugih, omahe magrong-magrong. Lha nek sekolah kok trima nyepeda. Ora tau umuk-Gila, ternyata anak orang kaya, rumahnya besar dan bagus. Lha kalau ke sekolah kok cuma naik sepeda. Tidak pernah pamer," ujar Aryadi terheran-heran.

Setelah pertemuan itu, Bang Totok meminta agar Aryadi tidak bercerita ke teman-teman sekelas tentang rumah dan keluarganya. 

Bang Totok termasuk siswa yang bisa mengikuti pelajaran. Meskipun begitu kami tetap belajar bersama di tangsi untuk pelajaran kimia, aljabar, maupun fisika. Anggota belajar bersama ketambahan dua orang: Aryadi dan Bambang TP. 

Walaupun berada di jurusan IPA, tetapi setiap pertandingan antar kelas, berkat koordinasi Bang Totok bersama teman lainnya, kelas kami selalu memenangkan lomba majalah dinding dan vokal grup. 

Kepedulian terhadap jurnalistik dan kesenian diperlihatkan sejak lelaki tiga bersaudara itu berada di kelas satu. Bahkan di kelas dua, banyak teman-teman perempuan yang minta dibuatkan puisi.

Jadi tidak terlalu mengherankan bagi saya kalau kemudian ia banting stir dari jurusan IPA, kuliah ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan (sekarang FIB) UGM, meninggalkan keiinginan kuliah ke Fakultas Biologi. 

Konon kabarnya, karena kuliah di jurusan yang kurang populer itulah, ibu sang pacar tidak ingin anak perempuannya meneruskan hubungan dengan Bang Totok. Takut akan masa depan anaknya kalau hanya diberi makan puisi dan imajinasi. Mereka lalu putus baik-baik.

Saya juga melanjutkan kuliah ke UGM di salah satu fakultas dengan basis IPA. Pada semester ketiga, nama Bang Totok mulai populer di fakultasnya karena ia mendapat beasiswa dari salah satu lembaga pemerintah pusat, memenangkan lomba menulis artikel populer, namanya mulai menghias koran lokal, menjadi juri lomba baca puisi. 

Beberapa antologi yang memuat puisi Bang Totok/Foto: Hermard
Beberapa antologi yang memuat puisi Bang Totok/Foto: Hermard
Meskipun begitu ia tetap saja low profile, andap asor (rendah hati). Di sisi lain, tidak minder berkumpul dengan teman-teman dari fakultas bergengsi: arsitek, geografi, ekonomi, dan hukum.

"Pekerjaan orang tidak hanya ditentukan oleh pendidikan. Tapi juga tergantung dari pengalaman dan nasib. Meskipun kita kuliah di fakultas favorit, tapi kalau bernasib kurang baik, belum tentu mendapatkan pekerjaan sesuai keinginan," ungkap Bang Totok Keling datar.

Bang Totok agak telat lulusnya. Meskipun begitu ia diterima bekerja sebagai PNS di lembaga yang dulu memberinya beasiswa. Lembaga pemerintah pusat tersebut memiliki kantor di setiap provinsi di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. 

Lulusan Sastra UGM itu memang bernasib baik, bisa bekerja di kantor sesuai passion-nya; mengurusi penelitian, pembinaan, dan pengembangan bahasa-sastra. Kata orang Jawa, tumbu oleh tutup, sehingga kariernya pun cepat menanjak. 

Kurang lebih lima tahun setelah bekerja, ia menduduki jabatan fungsional peneliti, dipercaya mengelola sanggar sastra, menjadi juri lomba sastra, narasumber pelatihan penulisan, ditunjuk sebagai editor jurnal ilmiah. 

Pada tahun-tahun berikutnya, lelaki bernasib baik itu dipercaya sebagai koordinator bidang, masuk dalam tim perencanaan, dan pengawas koperasi. Di luar kantor, ia malang melintang di dunia penjurian pembacaan sastra hingga dipercaya Dinas Pendidikan sebagai mentor pembacaan puisi ke tingkat nasional. 

Betapa herannya saya mendapati kenyataan ini. Lha artikulasinya saja tidak jelas, kok dipercaya sebagai mentor baca puisi? Saya teringat waktu SMA, saat Bang Totok membaca puisi di depan kelas, ia tidak bisa melafalkan huruf "r" dengan baik. Tapi sampai pensiun pun lelaki berdarah Jawa itu tetap dipercaya beberapa sekolah menjadi mentor pembacaan puisi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa ia turut berperan serta dalam menumbuhkan dan melahirkan pembaca-pembaca puisi terbaik di Yogyakarta.

"Artikulasi memang penting. Tapi kan bukan saya yang membaca puisi saat lomba. Saya hanya memberi bekal, mengajarkan bagaimana teknik membaca puisi. Dari interpretasi, vokalisasi, ekspresi, dan berbagai konvensi pembacaan puisi berdasarkan pengalaman. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita menjaga kepercayaan dan membangun relasi dengan baik," jelas Bang Totok Keling saat kami ngobrol di warung kopi Kotagede.

Bang Totok kecil bersama ibunda tercinta/Foto: dokpri Hermard
Bang Totok kecil bersama ibunda tercinta/Foto: dokpri Hermard
Bang Totok Keling merupakan nama panggilan di keluarga. Disebut "keling" karena warna kulitnya hitam dibandingkan adik maupun kakaknya.

Saat kanak-kanak di Kuala Tungkal, banyak orang India yang membuka toko kain. Mereka dikenali juga sebagai orang keling karena berkulit hitam. Jadilah ayahya memanggil anak nomor dua dengan Totok Keling.

Kesederhanaan Bang Totok Keling terus terbawa hingga ia berkeluarga dan memasuki masa tua. Meskipun menghuni rumah mewah di sebuah kluster, punya mobil, tapi kemanapun pergi, ia lebih suka mengendarai honda supra warna hitam. 

Jika jumatan di kampung dekat perumahan, pensiunan PNS itu memilih naik sepeda. Setiap jalan pagi, ia menyempatkan bertegur sapa dengan masyarakat sekitar, sampai-sampai Pak Mudji, petani tradisional yang memiliki beberapa petak sawah di selatan desa Karang Mloko, Sleman, menyegatnya sekadar ingin menyapa dan berbincang lebih akrab.

Sengaja saya menampilkan Bang Totok Keling sebagai local heroes karena ia layak dijadikan inspirasi. Sejak kecil sampai menua, meskipun berasal dari keluarga berkecukupan, hidup tidak kekurangan, tetapi selalu tampil sederhana, tidak menonjolkan diri, menghargai orang lain, dan menjaga setiap kepercayaan yang diberikan. 

Bagi saya, ia merupakan sosok dengan kemampuan memahami falsafah hidup orang Jawa: anglaras ilining banyu angeli, ananging ora keli--menyesuaikan diri dengan aliran air, sengaja mengikuti arus tetapi tidak terbawa arus. Mampu menyesuaikan diri dengan gerak perkembangan zaman tanpa terlena di dalam pusarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun