Melalui pendekatan semiotik sosiologis, puisi ini dapat dilihat sebagai refleksi mendalam tentang kehidupan manusia, relasi dengan alam, dan pertanyaan eksistensial yang dihadapi setiap individu.
Puisi "Patung Kematian", mengidentifikasikan beberapa tanda dan penanda, menggambarkan tema kematian dan transformasi spiritual.
Patung Kematian
Akulah tanah liat yang dipahat menjadi sebongkah mayat di alun-alun jiwa
Selembar kafan kata-kata membalutku sebagai pocongan nama di bawah gerhana
Tak apa!
Ya.
tak ada duka. Tak harus ada
Di bawah gerhana yang singkat masih ada adzan panjang daratan lempang yang jauh dari gaduh peradang
Aku akan menemu jalan pulang yang merubah mayat menjadi nyanyian kehidupan
Pada tingkat konotatif, puisi ini mencerminkan perjalanan spiritual manusia dari kehidupan menuju kematian dan transformasi spiritual. Mengisyaratkan bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi bagian dari siklus kelahiran kembali atau perubahan dalam bentuk lain.
Mencerminkan bagaimana penyair memandang kematian bukan sebagai akhir perjalanan yang tragis, tetapi merupakan bagian dari siklus hidup yang harus diterima dengan damai.
Simbol azan dan daratan lempang menunjukkan adanya elemen religius spiritual dalam budaya--melihat kematian sebagai transisi menuju kehidupan baru (kedamaian abadi).
Puisi ini ditulis penyair dengan maksud mengingatkan pembaca agar tenang dan pasrah dalam menghadapi kematian. Setidaknya ada keinginan penyair mendorong pembaca memandang kematian dengan lebih spiritual dan reflektif, mengakui bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru.
Dari sisi lain, puisi ini dapat dipahami sebagai refleksi mendalam tentang kefanaan manusia, hubungan dengan kematian, dan perjalanan spiritual yang menyertainya. Artinya, penyair mengajak pembaca merenungkan makna hidup dan kematian dengan sikap penerimaan.
Setelah sesapan kopi terakhir, saya bertanya, mengapa beberapa puisi dalam Gembok Sang Kala terasa ngilu dan nggrantes?
"Puisi merupakan cara berbahasa penyair. Dan saat saya sakit, jujur situasi itu menimbulkan ketakutan dan membuat lebih religius dan saya merasakannya," jelas Dedet.
Dalam konteks masyarakat Jawa, jarak Tuhan dengan ciptaannya terpatri dalam ungkapan adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan---jauh tak berjarak, dekat tanpa sentuhan. Kematian merupakan jalan kembali ke asal mula: mulih mulo mulanira...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H