Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Maut dan Kematian dalam Puisi Dedet Setiadi

19 Juli 2024   20:00 Diperbarui: 21 Juli 2024   03:40 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi dan kehidupan/Foto: Hermard

"Neng endi Mas? Aku arep mampir, ngopi neng ngomah ya?-Dimana Mas? Saya mau mampir, ngopi ke Omah Ampiran," terdengar jelas suara Dedet Setiadi, penyair Jawa Tengah, di seberang telepon pada awal bulan Juli lalu (2/7/2024).

Tak butuh waktu lama, penyair kelahiran Magelang 12 Juli 1963 itu tiba-tiba sudah nongol di depan rumah di bilangan Randugowang, Sleman, sambil menenteng sekotak lumpia hangat isi rebung dan buku antologi puisi Gembok Sang Kala (Forum Sastra Surakarta, 2012). 

Beberapa menit setelah basa-basi di teras, kami pun terlibat pembicaraan ngalor-ngidul mengenai kehidupan sastra Yogyakarta, proses kreatif penciptaan puisi, dan hal-hal nyeleneh atau "absurd" yang dilakukan beberapa teman sastrawan.

Kopi pahit Dedet/Foto: Hermard
Kopi pahit Dedet/Foto: Hermard
Kopi hitam pahit kesukaan Dedet, racikan Ibu Negara Omah Ampiran pun tersaji dengan aroma robusta menggoda. Lengkaplah sudah sajian di atas meja teras: lumpia rebung plus kopi lampung---nikmat manalagi yang bisa didustakan?

Dedet Setiadi, penyair Jawa Tengah, salah satu puisinya menjadi puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali, dalam proses kreatifnya pernah nyantrik kepada Kriapur yang puisinya pada tahun 1980-an sudah terpampang di berbagai koran nasional dan majalah sastra paling bergengsi, Horison. 

Dedet yang puisi-puisinya termuat dalam antologi Konstruksi Roh (UNS Solo, 1984), Puisi Indonesia 87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Vibrasi Tiga Penyair (Tiwikrama, 1990), Jentera Terkasa (Taman Budaya Jateng, 1998), Bersepeda ke Bulan (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2011), dan Pengakuan Adam di Bukit Huka (Teras Budaya Jakarta, 2015), kemudian seperti terjebak menciptakan puisi-puisi menyerupai ciptaan Kriapur dengan tema seputar maut, kematian, serta segala sesuatu berbau-bau filsafat. 

Tetapi lama-kelamaan perasaan ngerinya terhadap maut dan kematian kian menghantuinya. Terlebih setelah kepergian Kriapur karena kecelakaan di Batang, Jawa Tengah. 

Hal ini membuat Dedet menghayati kembali penciptaan puisi dengan tema-tema personal pedesaan. Lahirlah puisi "Fragmen Perjalanan (1)", mencerminkan kehidupan masyarakat agraris yang erat dengan tradisi dan budaya Jawa. Elemen-elemen dalam puisi ini antara lain pecut, blangkon, dan surjan sangat khas dengan kehidupan pedesaan di Jawa.

Tidur abadi di Kotagede/Foto: Hermard
Tidur abadi di Kotagede/Foto: Hermard
Di samping itu ada pula puisi "Di Makam Kakek," menggambarkan perjalanan penyair ke makam Marto Singo, sang kakek, dan refleksi terhadap sejarah pribadi dan kolektif yang terkandung di dalamnya.

Diksi dan metafora selop hitam, keris, serta surjan menunjukkan penghormatan penyair kepada tradisi dan identitas budaya Jawa.

"Alam pedesaan mampu memvisualisasikan apa yang ada dalam pemikiran. Ini menjadikan puisi-puisi saya tidak abstrak. Puisi, bagi saya adalah sesuatu yang konkret," jelas Dedet.

Khusus dalam antologi Gembok Sang Kala, metafor dan diksi yang dikedepankan tidak saja berurusan dengan alam pedesaan semata, tetapi berkenaan dengan rasa sakit dan kecemasan akan kematian.

Maklum antologi tersebut berisikan beberapa puisi yang ditulis Dedet, penerima penghargaan Prasidatama (2022), ketika ia sakit dan harus lebih banyak berbaring di ranjang.

Puisi "Gembok" (dipilih sebagai judul antologi) mencerminkan keadaan manusia yang acapkali merasa terasing dari pencerahan hakiki.

Pilihan kata gembok dan kunci merupakan metafora halangan sekaligus solusi dalam konteks sosial. Penyair mencari cara membuka gembok yang menghalangi pemahaman atau hubungan imanen.

Puisi ini mengajarkan pentingnya menemukan kunci untuk membuka halangan dalam jiwa melalui usaha dan kehadiran secara signifikan.

Puisi dengan tone hampir sama diberi judul sesuai nama penyairnya.

Dedet Setiadi

tapi bukan tanda kabung sungguh pun langit melengkungkan mendung di atas kampung

bukan bela sungkawa tapi melulu keberangkatan menuju awal mula untuk kembali ada

jangan hujani dengan air mata gerimiskan saja dzikir dan doa mungkin sedikit bisa diterima - singkirkan karangan bunga! tak harus duka sebab kematian bukan akhir segalanya

tak ada yang terusung di keranda tak ada yang binasa :

masih akan tetap ada!

Judul puisi tersebut menunjukan kesan personal spesifik, bahwa puisi memiliki konteks biografis/dedikatif.

Di sisi lain, puisi ini berfokus pada pandangan penyair mengenai kematian dalam konteks sosial budaya; memandang kematian bukan sebagai akhir, melainkan merupakan bagian dari siklus keberadaan seseorang.

Diksi zikir dan doa menunjukkan pengaruh agama dan spiritualitas penyair dalam memahami serta merespon kematian. Penyair mengajarkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus diratapi dengan air mata atau simbol-simbol duka cita lainnya; tetapi lebih sebagai momen melakukan zikir, berdoa; menekankan pentingnya spiritualitas dan keikhlasan.

Bukankah kematian merupakan bagian dari perjalanan yang lebih besar, menekankan keberlanjutan dan keabadian jiwa?

Dalam konteks sosiologis, puisi ini mengajak pembaca melihat kematian sebagai bagian dari siklus keberadaan dan bukan sebagai akhir yang tragis.

"Bagi saya, hal-hal yang mematikan lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Ini merupakan "ayat" untuk menghibur diri sendiri," seloroh Dedet.

Puisi lain yang cukup menarik perhatian adalah "Lukisan Mayat".

Lukisan Mayat

Tutuplah pintu dan jendela. Pejamkan kembali mata Agar lebih sempurna melihatnya

Jubah bela sungkawa yang dibawa ke mana-mana pada saatnya akan bermakna sia-sia dan apa yang dianggap sebagai petaka kelak hanya sebuah bahasa - nilai yang kehilangan rasa

Lukisan mayatku terpampang di udara pada selembar kanvas tanpa warna. Tak perlu keranda aku sudah siap menguburkannya di bawah nisan kata-kata - bukan luka yang menganga

Tak harus ada duka, ya, tak harus ada

Puisi "Lukisan Mayat" menunjukkan bagaimana perasaan duka dan tragedi kehilangan makna dalam konteks perubahan sosial--mencerminkan adanya pergeseran nilai dalam masyarakat.

Sikap tenang terhadap kematian dan pernyataan bahwa tidak harus ada duka, menunjukkan pandangan penyair bahwa kematian merupakan bagian alami dari kehidupan, tidak (selalu) harus disertai kesedihan mendalam.

Penarikan diri dari dunia luar dengan melakukan refleksi mendalam, mencerminkan pentingnya introspeksi diri saat proses menemukan makna pribadi yang (bisa saja) tidak sejalan dengan nilai-nilai sosial.

Secara semiotik sosiologis, puisi "Lukisan Mayat" menggambarkan refleksi mendalam tentang kematian dan duka. Menekankan pentingnya menemukan makna pribadi dalam menghadapi kematian/kehilangan, serta bagaimana memorial kata-kata bisa menggantikan memorial fisik. 

Sikap tenang terhadap kematian dan pernyataan bahwa tidak harus ada duka, mencerminkan penerimaan penyair bahwa kematian merupakan bagian alami kehidupan.

Puisi "Sajak Jantung Pisang" mengusung banyak tanda, menyarankan konsep-konsep lebih imanen.

Sajak Jantung Pisang

jantung pisang itu melepas kelopak waktu di sekitar pohon kekarnya tanpa berkata-kata

subuh baru saja tiba saat kubuka jendela dan kabut meluapkan dinginnya ke sekujur penjuru jiwa aku masih bergeming dalam sujud raga

tlepok!

satu lagi kelopak jatuh di luar sana saat kutengok runcing jantung pisang itu menuding ke arahku dan berkata

: Det, di manakah akan kaujatuhkan kelopakmu jika waktunya tiba?

satu fajar jingga, masih memberiku ruang untuk bertatap

Jantung pisang menjadi penanda utama, mewakili siklus kehidupan. Jantung pisang yang melepas kelopak waktu mengisyaratkan proses berjalannya waktu dalam kehidupan.Sedangkan kelopak yang jatuh mengisyaratkan peristiwa berlalunya fase kehidupan.

Pada tataran konotatif, puisi ini mencerminkan siklus kehidupan manusia, perenungan terhadap waktu, dan makna eksistensi. 

Pertanyaan jantung pisang di manakah akan kau jatuhkan kelopakmu jika waktunya tiba? mengandung makna mendalam, bagaimana seseorang menghabiskan waktu hidupnya dan bagaimana akhirnya ia meninggalkan jejak di dunia.

Dari perspektif sosiologis, puisi ini merupakan refleksi terhadap kondisi sosial budaya ketika manusia dihadapkan pada pertanyaan eksistensial mengenai makna hidup dan kematian.

Puisi ini merupakan ajakan penyair kepada pembaca agar menyadari perjalanan hidup dan dampak amal perbuatan di dunia. Pertanyaan reflektif dari jantung pisang, mengajak pembaca mempertimbangkan warisan yang akan mereka tinggalkan.

Melalui pendekatan semiotik sosiologis, puisi ini dapat dilihat sebagai refleksi mendalam tentang kehidupan manusia, relasi dengan alam, dan pertanyaan eksistensial yang dihadapi setiap individu.

Puisi "Patung Kematian", mengidentifikasikan beberapa tanda dan penanda, menggambarkan tema kematian dan transformasi spiritual.

Patung Kematian

Akulah tanah liat yang dipahat menjadi sebongkah mayat di alun-alun jiwa

Selembar kafan kata-kata membalutku sebagai pocongan nama di bawah gerhana

Tak apa!

Ya.

tak ada duka. Tak harus ada

Di bawah gerhana yang singkat masih ada adzan panjang daratan lempang yang jauh dari gaduh peradang

Aku akan menemu jalan pulang yang merubah mayat menjadi nyanyian kehidupan

Pada tingkat konotatif, puisi ini mencerminkan perjalanan spiritual manusia dari kehidupan menuju kematian dan transformasi spiritual. Mengisyaratkan bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi bagian dari siklus kelahiran kembali atau perubahan dalam bentuk lain.

Mencerminkan bagaimana penyair memandang kematian bukan sebagai akhir perjalanan yang tragis, tetapi merupakan bagian dari siklus hidup yang harus diterima dengan damai.

Simbol azan dan daratan lempang menunjukkan adanya elemen religius spiritual dalam budaya--melihat kematian sebagai transisi menuju kehidupan baru (kedamaian abadi).

Puisi ini ditulis penyair dengan maksud mengingatkan pembaca agar tenang dan pasrah dalam menghadapi kematian. Setidaknya ada keinginan penyair mendorong pembaca memandang kematian dengan lebih spiritual dan reflektif, mengakui bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru.

Tidur panjang Sang Penyair/Foto: dokpri Hermard
Tidur panjang Sang Penyair/Foto: dokpri Hermard
Dari sisi lain, puisi ini dapat dipahami sebagai refleksi mendalam tentang kefanaan manusia, hubungan dengan kematian, dan perjalanan spiritual yang menyertainya. Artinya, penyair mengajak pembaca merenungkan makna hidup dan kematian dengan sikap penerimaan.

Setelah sesapan kopi terakhir, saya bertanya, mengapa beberapa puisi dalam Gembok Sang Kala terasa ngilu dan nggrantes?

"Puisi merupakan cara berbahasa penyair. Dan saat saya sakit, jujur situasi itu menimbulkan ketakutan dan membuat lebih religius dan saya merasakannya," jelas Dedet.

Dalam konteks masyarakat Jawa, jarak Tuhan dengan ciptaannya terpatri dalam ungkapan adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan---jauh tak berjarak, dekat tanpa sentuhan. Kematian merupakan jalan kembali ke asal mula: mulih mulo mulanira...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun