Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Maut dan Kematian dalam Puisi Dedet Setiadi

19 Juli 2024   20:00 Diperbarui: 21 Juli 2024   03:40 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi pahit Dedet/Foto: Hermard

Puisi lain yang cukup menarik perhatian adalah "Lukisan Mayat".

Lukisan Mayat

Tutuplah pintu dan jendela. Pejamkan kembali mata Agar lebih sempurna melihatnya

Jubah bela sungkawa yang dibawa ke mana-mana pada saatnya akan bermakna sia-sia dan apa yang dianggap sebagai petaka kelak hanya sebuah bahasa - nilai yang kehilangan rasa

Lukisan mayatku terpampang di udara pada selembar kanvas tanpa warna. Tak perlu keranda aku sudah siap menguburkannya di bawah nisan kata-kata - bukan luka yang menganga

Tak harus ada duka, ya, tak harus ada

Puisi "Lukisan Mayat" menunjukkan bagaimana perasaan duka dan tragedi kehilangan makna dalam konteks perubahan sosial--mencerminkan adanya pergeseran nilai dalam masyarakat.

Sikap tenang terhadap kematian dan pernyataan bahwa tidak harus ada duka, menunjukkan pandangan penyair bahwa kematian merupakan bagian alami dari kehidupan, tidak (selalu) harus disertai kesedihan mendalam.

Penarikan diri dari dunia luar dengan melakukan refleksi mendalam, mencerminkan pentingnya introspeksi diri saat proses menemukan makna pribadi yang (bisa saja) tidak sejalan dengan nilai-nilai sosial.

Secara semiotik sosiologis, puisi "Lukisan Mayat" menggambarkan refleksi mendalam tentang kematian dan duka. Menekankan pentingnya menemukan makna pribadi dalam menghadapi kematian/kehilangan, serta bagaimana memorial kata-kata bisa menggantikan memorial fisik. 

Sikap tenang terhadap kematian dan pernyataan bahwa tidak harus ada duka, mencerminkan penerimaan penyair bahwa kematian merupakan bagian alami kehidupan.

Puisi "Sajak Jantung Pisang" mengusung banyak tanda, menyarankan konsep-konsep lebih imanen.

Sajak Jantung Pisang

jantung pisang itu melepas kelopak waktu di sekitar pohon kekarnya tanpa berkata-kata

subuh baru saja tiba saat kubuka jendela dan kabut meluapkan dinginnya ke sekujur penjuru jiwa aku masih bergeming dalam sujud raga

tlepok!

satu lagi kelopak jatuh di luar sana saat kutengok runcing jantung pisang itu menuding ke arahku dan berkata

: Det, di manakah akan kaujatuhkan kelopakmu jika waktunya tiba?

satu fajar jingga, masih memberiku ruang untuk bertatap

Jantung pisang menjadi penanda utama, mewakili siklus kehidupan. Jantung pisang yang melepas kelopak waktu mengisyaratkan proses berjalannya waktu dalam kehidupan.Sedangkan kelopak yang jatuh mengisyaratkan peristiwa berlalunya fase kehidupan.

Pada tataran konotatif, puisi ini mencerminkan siklus kehidupan manusia, perenungan terhadap waktu, dan makna eksistensi. 

Pertanyaan jantung pisang di manakah akan kau jatuhkan kelopakmu jika waktunya tiba? mengandung makna mendalam, bagaimana seseorang menghabiskan waktu hidupnya dan bagaimana akhirnya ia meninggalkan jejak di dunia.

Dari perspektif sosiologis, puisi ini merupakan refleksi terhadap kondisi sosial budaya ketika manusia dihadapkan pada pertanyaan eksistensial mengenai makna hidup dan kematian.

Puisi ini merupakan ajakan penyair kepada pembaca agar menyadari perjalanan hidup dan dampak amal perbuatan di dunia. Pertanyaan reflektif dari jantung pisang, mengajak pembaca mempertimbangkan warisan yang akan mereka tinggalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun