Khusus dalam antologi Gembok Sang Kala, metafor dan diksi yang dikedepankan tidak saja berurusan dengan alam pedesaan semata, tetapi berkenaan dengan rasa sakit dan kecemasan akan kematian.
Maklum antologi tersebut berisikan beberapa puisi yang ditulis Dedet, penerima penghargaan Prasidatama (2022), ketika ia sakit dan harus lebih banyak berbaring di ranjang.
Puisi "Gembok" (dipilih sebagai judul antologi) mencerminkan keadaan manusia yang acapkali merasa terasing dari pencerahan hakiki.
Pilihan kata gembok dan kunci merupakan metafora halangan sekaligus solusi dalam konteks sosial. Penyair mencari cara membuka gembok yang menghalangi pemahaman atau hubungan imanen.
Puisi ini mengajarkan pentingnya menemukan kunci untuk membuka halangan dalam jiwa melalui usaha dan kehadiran secara signifikan.
Puisi dengan tone hampir sama diberi judul sesuai nama penyairnya.
Dedet Setiadi
tapi bukan tanda kabung sungguh pun langit melengkungkan mendung di atas kampung
bukan bela sungkawa tapi melulu keberangkatan menuju awal mula untuk kembali ada
jangan hujani dengan air mata gerimiskan saja dzikir dan doa mungkin sedikit bisa diterima - singkirkan karangan bunga! tak harus duka sebab kematian bukan akhir segalanya
tak ada yang terusung di keranda tak ada yang binasa :
masih akan tetap ada!
Judul puisi tersebut menunjukan kesan personal spesifik, bahwa puisi memiliki konteks biografis/dedikatif.
Di sisi lain, puisi ini berfokus pada pandangan penyair mengenai kematian dalam konteks sosial budaya; memandang kematian bukan sebagai akhir, melainkan merupakan bagian dari siklus keberadaan seseorang.
Diksi zikir dan doa menunjukkan pengaruh agama dan spiritualitas penyair dalam memahami serta merespon kematian. Penyair mengajarkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus diratapi dengan air mata atau simbol-simbol duka cita lainnya; tetapi lebih sebagai momen melakukan zikir, berdoa; menekankan pentingnya spiritualitas dan keikhlasan.
Bukankah kematian merupakan bagian dari perjalanan yang lebih besar, menekankan keberlanjutan dan keabadian jiwa?
Dalam konteks sosiologis, puisi ini mengajak pembaca melihat kematian sebagai bagian dari siklus keberadaan dan bukan sebagai akhir yang tragis.
"Bagi saya, hal-hal yang mematikan lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Ini merupakan "ayat" untuk menghibur diri sendiri," seloroh Dedet.