Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ahmad Tohari, Imajinasi, dan Kisah Cinta

30 Juni 2024   22:05 Diperbarui: 1 Juli 2024   11:08 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari Banyumas melanglang dunia/Foto: Hermard

Semua karya sastra itu berangkat atau terinspirasi dari kenyataan. Tapi kemudian terbungkus dalam sebuah imajinasi. Seorang pengarang harus mempunyai imajinasi yang sangat tinggi, sehingga mampu menuliskan sesuatu yang sebetulnya tidak ada, tapi seperti ada.

"Pada saat ini, anak-anak muda kita agak lemah imajinasinya. Ini terjadi karena kesalahan para orangtua, guru, masyarakat, yang meninggalkan tradisi dongeng. Padahal mendongeng itu adalah awal pembentukan dunia imajinasi," papar Ahmad Tohari di tengah diskusi bersama rombongan Sastra Bulan Purnama (SBP) di Gubug Carablaka Rumah Budaya Ahmad Tohari, Tinggarjaya Jatilawang, Banyumas.

Sekitar tiga puluh seniman dan praktisi SBP ngangsu kawruh dan disambut hangat oleh penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk didampingi istri tercinta, Siti Syamsiah. 

Tampak hadir antara lain Soeparno S Adhy, Genthong HSA, Eko Winardi, Ons Untoro, Simon HT, Umi Kulsum, Cicit Kaswarni, Yupi, Margaretha Widhy Pratiwi, Vincensius Dwimawan, Ninuk Retno Raras, dan Sutirman Eka Ardhana. Seniman dan praktisi Jawa Tengah ikut pula meramaikan, antara lain Wanto Tirta dan Yonas Suharyono.

Kang Tohari/Foto: Hermard
Kang Tohari/Foto: Hermard
Dipaparkan lebih lanjut bahwa sekarang guru ngaji tidak lagi mendongeng soal malaikat, surga. Padahal itu penting untuk mengembangkan kekuatan imajinasi pada anak-anak. Bahkan cerita tentang takhayu-takhayul di kuburan ada hantunya, di perempatan ada penunggunya, itu tidak apa-apa. 

Itu penting guna membangkitkan awal mula imajinasi. Bahkan Albert Enstein mengatakan bahwa yang terpenting adalah kekuatan imajinasi, bukan kekuatan nalar. Jadi lebih utama kekuatan imajinasi dari pada kekuatan nalar. Kalau kita sudah tidak diajari berimajinasi, maka nalar pun ikut-ikutan kurang berkembang.

"Dulu ketika saya didongengi Joko Kendil, sudah terbayang ada seseorang yang serba hitam, perut gendut, mukanya jelek. Ketika saya ngaji, mendongeng malaikat penjaga langit, saya membayangkan ada malaikat yang kakinya menjejak di bumi, tangannya diangkat mengarah ke langit. Soal itu cuma imajinasi, ya tidak apa-apa wong memang cuma imajinasi. Hal terpenting bahwa imajinasi itu dipelajari," pinta Ahmad Tohari.

Misalnya saja sebelum tercipta benda seperti handphone, pastinya sudah ada imajinasi di tangan penciptanya, baru kemudian diwujudkan benda konkretnya. 

Orang Jawa sudah memberikan pelajaran imajinasi melalui wayang. Gatotkaca bisa terbang, Ontorejo bisa masuk (ambles) ke bumi, itu sebenarnya pelajaran imajinasi. 

Hanya saja bedanya kalau di Jawa hanya dimitoskan, sedangkan di Barat diwujudkan. Kalau diandaikan manusia bisa terbang, maka di Barat dibuat seperangkat alat supaya manusia bisa terbang beneran. Sedangkan kita dari dulu sampai sekarang hanya berhenti sebatas wayang.

Imajinasi menjadi sangat penting karena mendahului benda-benda yang ada seperti sekarang ini yang dirancang oleh ahli-ahli teknologi.

Dalam bincang-bincang sambil wedangan, Tohari menjelaskan proses kreatif penulisan novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar peristiwa tahun 1965 saat Bung Karno masih kekeh menjalankan politik berdikari. Mungkin Bung Karno makan nasi, sedangkan rakyatnya di Banyumas makan singkong. 

Dilatarbelakangi situasi itulah lahir novel Ronggeng Dukuh Paruk saat di Banyumas orang sulit makan, tapi sangat giat mengikuti pawai-pawai politik, meskipun tidak tahu tujuan pawai politik tersebut.

Kemudian Tohari mengalami peristiwa yang sangat sulit dilupakan ketika penguasa menangkapi orang-orang PKI atau yang dianggap PKI dan ditembak mati di depan umum. Ahmad Tohari menonton beberapa kali peristiwa eksekusi terhadap orang-orang PKI. 

Menurut Tohari, ini merupakan dosa besar, membunuh orang tanpa proses pengadilan. Padahal waktu itu partai komunis Indonesia adalah partai yang sah karena baru menjadi partai terlarang tahun 1966.

Ronggeng Banyumasan/Foto: Hermard
Ronggeng Banyumasan/Foto: Hermard
Ide awal Ronggeng Dukuh Paruk didapatkan secara tidak sengaja saat Ahmad Tohari berada di lereng hutan berburu burung (saat masih duduk di bangku SMA). Tiba-tiba telinganya mendengar ada suara gemercik di bawah. 

Pandangannya tertuju ke arah bawah. Ternyata pemandangan di bawah sangat mendewasakan Ahmad Tohari. Ia melihat perempuan tengah mandi di pancuran bambu tanpa sehelai kain. 

Pemandangan itu menjadi semacam kenangan indah atau justeru mengerikan, selalu terbayang. Dan beberapa waktu kemudian Ahmad Tohari mengetahui dari masyarakat bahwa yang dilihatnya mandi di pancuran bambu merupakan seorang ronggeng. Ronggeng berada di situ karena disembunyikan oleh seorang pejabat. 

Nah, itu yang membuat Tohari terinspirasi pertama kali menulis ronggeng. Makanya begitu intens karena kedewasaan Tohari sangat terpacu. Tidak mengherankan jika banyak pembaca tidak tahan membaca novel itu, termasuk Jamal D Rahman dan Mohammad Sobary, mereka merasa novel itu membuat orang menjadi dewasa mendadak.

Cerita Srintil terus bergerak maju sampai ia mengalami tragedi luar biasa ketika berharap menjadi istri orang tapi ternyata hanya untuk disetorkan kepada bos dan saat itu Srintil tidak tahan lalu menjadi gila.

Detik-detik Srintil menjadi gila karena ia mengalami tiga kali pukulan godam. Pertama, ketika ia sadar tidak akan menjadi istri Bajus. Kedua, godaan itu membuat jiwa Srintil condong ketika menyadari bahwa Rasus sudah tidak bisa digapai. Ketiga, jiwa Srintil runtuh sama sekali saat ada ujung jari setajam pedang yang menuduhnya PKI. Habislah kesadaran Srintil dan ia pun menjadi gila.

"Saya diprotes pembaca, tega-teganya membuat Srintil menjadi gila. Tetapi logika ceritanya memang harus ke situ. Terlebih saya menulis beberapa novel tidak ada yang ending-nya happy, selalu berakhir menggantung. Menurut saya, cerita yang berakhir bahagia itu sangat mudah dilupakan, tidak ada kenangan yang bisa dicatat lagi," tukas Ahmad Tohari.

Dari Banyumas melanglang dunia/Foto: Hermard
Dari Banyumas melanglang dunia/Foto: Hermard
Sebagai pengarang berkualitas, karya-karya Ahmad Tohari sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah diterbitkan dalam bahasa Jepang. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Jerman. Pada tahun 2002, trilogi tersebut dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, dengan judul The Dancer.

Ronggeng Dancer/Foto: Hermard
Ronggeng Dancer/Foto: Hermard
Lalu bagaimana Ahmad Tohari memaknai novel yang ditulisnya?

"Bagi saya menulis novel itu adalah sesuatu yang sudah selesai. Artinya ketika novel itu terbit kemudian ada yang membaca, maka saya sudah selesai menulis novel. Ketika di Yogya banyak yang membaca dan yang dibaca adalah novel bajakan dan dijual murah, saya ikhlas kok," ungkap Tohari sambil menjelaskan kalau Ronggeng Dukuh Paruk saat ini sudah mencapai cetakan ke dua puluh dan tahun depan muncul dengan hard cover.

Meskipun piawai menulis cerpen dan novel, Ahmad Tohari tidak berhasrat menulis puisi karena pengalaman buruknya di masa lalu. Diceritakannya, saat kelas tiga SMP, murid sekelas diberi tugas oleh guru, Ibu Siti Rubiah, membuat puisi. 

Saat itu puisi lebih dikenal sebagai pantun. Dengan mengerahkan segala kemampuan, kekuatan lahir batin, Ahmad Tohari menulis pantun beberapa bait dan ditempel di majalah dinding dengan penuh kebanggaan. 

Tiba-tiba temannya lewat dan membaca pantun Ahmad Tohari. Ia berkomentar bahwa pantun Tohari pasti hasil contekan karena ia pernah membaca di suatu tempat. Komentar itu betul-betul merupakan malapetaka puisi yang luar biasa.

"Habislah rasa harga diri saya karena saya menulis dengan kekuatan diri sendiri kok dianggap nyontek. Sesudah itu hilang keberanian saya untuk menulis puisi, sampai sekarang," jelas Ahmad Tohari.

Pasangan tanpa kata cinta/Foto: Hermard
Pasangan tanpa kata cinta/Foto: Hermard
Hal yang jarang terungkap adalah bagaimana Ahmad Tohari jatuh cinta kepada Siti Syamsiah. Enam tahun pacaran kemudian menikah tanpa kata cinta.

"Saya orangnya maknawi, tidak suka simbolik. Jadi seumur hidup, saya tidak pernah menulis kata cinta," jelas Tohari sambil tersenyum.

Penerima penghargaan Sastra ASEAN tahun 1995 itu menjelaskan tanpa tedeng aling-aling bahwa ketika SMP, istrinya terlihat sangat cantik, diperebutkan banyak orang.

"Waktu saya SMA kelas tiga, istri saya SMP kelas tiga, ia cantik sekali. Banyak lelaki tertarik, saingannya banyak betul. Saingan terberat adalah seorang kapten RPKAD. Saya sudah menyerah sebelum bertarung. Tapi diam-diam dia memilih saya...," ungkap lelaki kelahiran 13 Juni 1948 yang disambut senyuman teman-teman SBP.

Sebagai istri seorang pengarang, Siti Syamsiah merasakan suka dan duka. Pada awal Ahmad Tohari menulis, belum ada honor, merupakan masa prihatin. Setelah mendapat honor tetap harus sabar menunggu kiriman honor lewat wesel dan mengambilnya di kantor pos.

"Bapak kalau menulis, waktunya tidak tentu. Kadang tengah malam, kadang habis subuh, kadang siang-siang, dan tak boleh diganggu. Terutama kalau anak-anak menangis, ia merasa sangat terganggu. Wong kalau ada pitik piyap-piyap aja harus cepat-cepat dihalau. Ada motor di jalan dengan knalpot brong, ia suka marah," ungkap Siti Syamsiah.

Ahmad Tohari dan Siti Syamsiah di antara anggota Sastra Bulan Purnama/Foto: Dokumentasi pribadi Hermard
Ahmad Tohari dan Siti Syamsiah di antara anggota Sastra Bulan Purnama/Foto: Dokumentasi pribadi Hermard
Jadi kalau sedang menulis, sang suami memang membutuhkan konsentrasi. Kadang-kadang menulis dapat dilakukan hanya beberapa saat, sudah selesai satu cerpen. Jadi tidak ada kepastian waktu.

"Tentu saja saya merasa bersyukur telah ditakdirkan sebagai istri penulis seperti bapak. Saya membaca karya-karya bapak sebelum karyanya terbit. Cerpen yang paling dikagumi adalah cerpen Tinggal Matanya Berkedip-kedip yang memberikan kesadaran bahwa meskipun kita kelaparan, tetapi kita tetap berusaha menolong orang lain dengan melupakan penderitaan sendiri".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun