Sebagai istri seorang pengarang, Siti Syamsiah merasakan suka dan duka. Pada awal Ahmad Tohari menulis, belum ada honor, merupakan masa prihatin. Setelah mendapat honor tetap harus sabar menunggu kiriman honor lewat wesel dan mengambilnya di kantor pos.
"Bapak kalau menulis, waktunya tidak tentu. Kadang tengah malam, kadang habis subuh, kadang siang-siang, dan tak boleh diganggu. Terutama kalau anak-anak menangis, ia merasa sangat terganggu. Wong kalau ada pitik piyap-piyap aja harus cepat-cepat dihalau. Ada motor di jalan dengan knalpot brong, ia suka marah," ungkap Siti Syamsiah.
Jadi kalau sedang menulis, sang suami memang membutuhkan konsentrasi. Kadang-kadang menulis dapat dilakukan hanya beberapa saat, sudah selesai satu cerpen. Jadi tidak ada kepastian waktu.
"Tentu saja saya merasa bersyukur telah ditakdirkan sebagai istri penulis seperti bapak. Saya membaca karya-karya bapak sebelum karyanya terbit. Cerpen yang paling dikagumi adalah cerpen Tinggal Matanya Berkedip-kedip yang memberikan kesadaran bahwa meskipun kita kelaparan, tetapi kita tetap berusaha menolong orang lain dengan melupakan penderitaan sendiri".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H