Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar peristiwa tahun 1965 saat Bung Karno masih kekeh menjalankan politik berdikari. Mungkin Bung Karno makan nasi, sedangkan rakyatnya di Banyumas makan singkong.Â
Dilatarbelakangi situasi itulah lahir novel Ronggeng Dukuh Paruk saat di Banyumas orang sulit makan, tapi sangat giat mengikuti pawai-pawai politik, meskipun tidak tahu tujuan pawai politik tersebut.
Kemudian Tohari mengalami peristiwa yang sangat sulit dilupakan ketika penguasa menangkapi orang-orang PKI atau yang dianggap PKI dan ditembak mati di depan umum. Ahmad Tohari menonton beberapa kali peristiwa eksekusi terhadap orang-orang PKI.Â
Menurut Tohari, ini merupakan dosa besar, membunuh orang tanpa proses pengadilan. Padahal waktu itu partai komunis Indonesia adalah partai yang sah karena baru menjadi partai terlarang tahun 1966.
Ide awal Ronggeng Dukuh Paruk didapatkan secara tidak sengaja saat Ahmad Tohari berada di lereng hutan berburu burung (saat masih duduk di bangku SMA). Tiba-tiba telinganya mendengar ada suara gemercik di bawah.Â
Pandangannya tertuju ke arah bawah. Ternyata pemandangan di bawah sangat mendewasakan Ahmad Tohari. Ia melihat perempuan tengah mandi di pancuran bambu tanpa sehelai kain.Â
Pemandangan itu menjadi semacam kenangan indah atau justeru mengerikan, selalu terbayang. Dan beberapa waktu kemudian Ahmad Tohari mengetahui dari masyarakat bahwa yang dilihatnya mandi di pancuran bambu merupakan seorang ronggeng. Ronggeng berada di situ karena disembunyikan oleh seorang pejabat.Â
Nah, itu yang membuat Tohari terinspirasi pertama kali menulis ronggeng. Makanya begitu intens karena kedewasaan Tohari sangat terpacu. Tidak mengherankan jika banyak pembaca tidak tahan membaca novel itu, termasuk Jamal D Rahman dan Mohammad Sobary, mereka merasa novel itu membuat orang menjadi dewasa mendadak.
Cerita Srintil terus bergerak maju sampai ia mengalami tragedi luar biasa ketika berharap menjadi istri orang tapi ternyata hanya untuk disetorkan kepada bos dan saat itu Srintil tidak tahan lalu menjadi gila.
Detik-detik Srintil menjadi gila karena ia mengalami tiga kali pukulan godam. Pertama, ketika ia sadar tidak akan menjadi istri Bajus. Kedua, godaan itu membuat jiwa Srintil condong ketika menyadari bahwa Rasus sudah tidak bisa digapai. Ketiga, jiwa Srintil runtuh sama sekali saat ada ujung jari setajam pedang yang menuduhnya PKI. Habislah kesadaran Srintil dan ia pun menjadi gila.
"Saya diprotes pembaca, tega-teganya membuat Srintil menjadi gila. Tetapi logika ceritanya memang harus ke situ. Terlebih saya menulis beberapa novel tidak ada yang ending-nya happy, selalu berakhir menggantung. Menurut saya, cerita yang berakhir bahagia itu sangat mudah dilupakan, tidak ada kenangan yang bisa dicatat lagi," tukas Ahmad Tohari.