Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Puisi, Jalan Melingkar Bermula dari Li Po

20 Juni 2024   12:16 Diperbarui: 21 Juni 2024   21:07 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pencarian diri lewat Apokalipsa Kata/Foto: Hermard

kita adalah para kanak yang berlarian mengelilingi tubuh sendiri mencari yang sengaja bersembunyi dan disembunyikan

seperti air mata seorang ibu yang bersembunyi di balik sungging bibir dan anak-anak menemukan ketabahannya semata (penggalan puisi "Petak Umpet"-Dedet Setiadi)

Benar seperti apa yang dikatakan Joko Pinurbo (Jokpin) bahwa puisi-puisi Dedet Setiadi, penyair kelahiran Magelang 12 Juli 1963, mengajak pembacanya berkontemplasi. Semacam bermain petak umpet, simbol bahwa kita sedang bermain dengan diri sendiri.

"Kita mengira akan menemukan diri di luar, padahal kita akan menemukannya di dalam.  Dalam perjalanan melingkar, barangkali kita mengalami kegagalan dan luka jiwa. Namun, semua itu harus diredam. Berdamai dengan diri sendiri," tulis Jokpin dalam pengantar buku kumpulan puisi Apokalipsa Kata yang memenangi penghargaan Prasidatama 2022, Balai Bahasa Jawa Tengah.

Tahun 1987, Dedet diundang dalam temu penyair Indonesia 1987 di TIM Jakarta. Tahun 1990, satu puisinya terpilih sebagai puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali.

Dedet di Omah Ampiran/Foto: Hermard
Dedet di Omah Ampiran/Foto: Hermard
Ketika bertandang ke Omah Ampiran (15/6/2024), sambil menikmati nasi rawon hidangan Ibu Negara Omah Ampiran, Dedet menjelaskan bahwa puisi-puisinya merupakan media pelepasan (pengungkapan) momen puitik. 

Puisinya berbeda dengan penyair lainnya karena ia meyakini cerapan seseorang ketika menangkap sebuah peristiwa/momen ditentukan oleh latar budaya, sosial, dan intelektualnya. Artinya, meskipun  menyaksikan peristiwa yang sama, tetapi hasil penciptaan puisi para penyair pasti berbeda-beda.

Saat awal menulis puisi, di bangku SMA, tujuan Dedet hanya ingin pamer, kemaki. Hal itu berkat dorongan Pak Kasno, guru bahasa di SMA Negeri 10 Yogyakarta. Beliau mengajar mengarang sambil membawa koran. 

Suatu hari  berkata bahwa siapa pun yang tulisannya bisa menembus koran  akan diberi nilai bagus. Tak berapa lama kemudian puisi Dedet dimuat Minggu Pagi, dielu-elukan para guru dan siswa lainnya.

Sebenarnya sudah dari bangku sekolah dasar Dedet   menyukai sastra. Hanya saja ia memiliki keterbatasan karena hidup di desa, tepatnya di Pakunden, Ngluwar, Magelang, dan orang tuanya berpendidikan pas-pasan. 

Meskipun begitu, sebagai lurah, ayahnya berlangganan koran Kedaulatan Rakyat  dan Dedet mempunyai kebiasaan membaca. Rubrik "Sungguh-sungguh Terjadi" menjadi santapan utama. Dilanjutkan dengan cerita bersambung "Api di Bukit Menoreh" (SH Mintardja) yang juga digandrungi ayahnya. 

Api di Bukit Menoreh dalam bentuk buku/Foto: dokpri Hermard
Api di Bukit Menoreh dalam bentuk buku/Foto: dokpri Hermard
"Kegilaan saya terhadap Api di Bukit Menoreh terutama karena latar ceritanya Kali (sungai) Progo, mengingatkan kebiasaan  masang wuwu dan kegiatan lain di sungai. Semua sangat kontekstual dengan apa yang pernah saya alami," papar Dedet.

Pemikiran-pemikiran mistis khas desa, dicekoki oleh Mbok Lamah  (pemomong/pengasuh) Dedet. Contoh, saat gerhana harus bersembunyi, atau ketika terlihat pelangi maka ia percaya ada bidadari turun dari langit. 

Suatu hari, saat melihat pelangi, Dedet yang masih duduk di sekolah dasar buru-buru  lari ke sungai, merunduk di balik semak-semak mengintip ketepian sungai (arah bendungan), berharap ada Nawang Wulan turun dari kayangan dan selendangnya bisa ia curi...

Rumah di Pakunden/Foto: Hermard
Rumah di Pakunden/Foto: Hermard
Hal-hal itu tertanam kuat dalam ingatan. Artinya, tradisi berpikirnya  dilatari oleh hal-hal ora ilok, misalnya  dilarang makan di depan pintu, tidak boleh menunjuk kuburan. Di sisi lain, orang tua sangat percaya kepada yang momong, meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan.

Dedet menghayati hidup di lingkungan agraris, menyebabkan pemikirannya tidak ilmiah.

"Sampai sekarang saya tidak bisa lepas dari pemikiran-pemikiran jawa tradisi. Meskipun saya berusaha menentang pemikiran-pemikiran itu. Misalnya saja mengapa di dekat bayi harus ada peniti, dlingo bengle, di bawah bantalnya harus tersedia gunting kecil, tapi selalu tidak menemukan jawaban secara rasional. Hal-hal di luar nalar itu saya alami, membuat saya merasa mengambang dan kemungkinan hal ini juga tercermin dalam beberapa puisi saya," ungkap Dedet.

Semasa SMA sering main ke shoping center, nunut membaca puisi-puisi majalah Horison. Saat itu Horison masih cetak sederhana dan covernya hanya seperti orek-orekan hitam putih pelukis Jihan dan beberapa pelukis lainnya.

Selain Horison, Dedet membaca buletin Tamansiswa, Pusara, karena kakak angkat menjadi guru di SMA Taman Dewasa milik Tamansiswa. 

Dari Pusara,  Dedet mengetahui karya tokoh-tokoh Persada Studi Klub (PSK), seperti Sutirman Eka Ardhana, Emha Ainun Nadjib,  Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa.

Saat itu Dedet penasaran dengan puisi Sutirman Eka Ardhana yang memumculkan kata nipah. Kata nipah begitu asing. Dulu mencari pengertian sebuah kata harus membuka kamus, datang ke perpustakaan mencari referensi. Tidak seperti sekarang, tinggal searching google, semua beres dalam waktu sekejap. 

Situasi ini menimbulkan kesadaran bahwa di dalam menulis puisi, penyair harus mempertimbangkan pilihan kata (diksi) dengan sungguh-sungguh.

Penyair dengan delapan saudara itu juga sering keluyuran malam ke Malioboro, Senisono, menyaksikan dari kejauhan seniman dan sastrawan PSK bergerombol bercakap-cakap. 

Terkadang muncul keinginannya  tampil seperti mereka.  Ini menjadikan  virus ia masuk ke Fakultas Sastra UNS, meskipun tidak direstuai orang tua. Ayahnya menginginkan ia kuliah di jurusan teknik atau setidaknya publisistik (Sospol).  

Perjalanan kepenyairan Dedet tidak bisa dilepaskan dari sosok Kriapur (Kristianto Agus Purnomo), penyair kelahiran   Solo, 6 Agustus 1959, sempat digadang-gadang sebagai penyair berbakat (sayangnya ia berusia pendek).  

Dedet sering meminta pertimbangan mengenai puisi-puisinya. Bahkan ia sempat terpengaruh terhadap tema-tema puisi Kriapur yang bersinggungan dengan masalah-masalah filsafat, eksistensialisme, mempertanyakan apa hakikat manusia sesungguhnya, membicarakan tentang maut dan kematian. 

Untungnya pengaruh itu tidak berlanjut (terutama setelah  Kriapur berpulang)  dan Dedet kembali menulis puisi-puisi bertema pengalaman hidup sehari-hari, bukan hal-hal abstrak. Bahkan menulis puisi yang setengah guyon.

"Puisi saya untuk melepaskan unek-unek. Respon terhadap keadaan dan kejadian di sekitar  dengan menyindir sembunyi-sembunyi. Puisi-puisi saya menjadi sangat jawa, tidak berani berteriak keras menyuarakan tanggapan terhadap situasi sekeliling. Saya menyampaikan secara sembunyi-sembunyi-nabok nyilih tangan...," ujar Dedet datar.

Di samping itu Dedet tidak ingin hadir sebagai pendobrak atau pembaru dalam dunia perpuisian. Puisi-puisinya sama sekali tidak terkait dengan kritik sosial. Ia lebih suka ngece awake dhewe-menyindir diri sendiri,  menyebabkan puisi-puisinya begitu personal.  Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Dedet lahir dan tinggal di desa, sehingga ide-idenya muncul dari peristiwa keseharian dengan meminjam kejadian alam.

Contohnya saat sakit, melalui jendela kamar ia melihat pelepah jantung pisang tanggal satu per satu yang dibayangkan sebagai kelopak waktu. Terlebih saat jantung pisang seakan-akan menunjuk ke arahnya...peristiwa  itu bisa menjadi momen puitik tentang ajal, misalnya.

Jadi puisi-puisi Dedet cenderuang riil dengan imajinasi keseharian. Di desa banyak sekali ide yang bisa dituliskan: akar, pohon, sawah, bisa mewakili diri sendiri untuk dihayati menjadi semacam metafora.

Dalam proses kreatif, puisi Dedet selalu bermula dari sebuah kejadian yang langsung terolah dalam pikiran. Ia menulis langsung sekali jadi, tidak suka dengan proses editing.

"Kalau diganti ya diganti total, bukan diedit. Saya justeru senang kalau terasing dari puisi yang baru saya tulis. Puisi semacam ini justeru saya anggap puisi yang jadi karena menimbulkan kejutan bagi diri sendiri," ungkap Dedet.

Menulis puisi tidak dilakukan bertahap bait demi bait, tetapi harus merupakan satu kesatuan yang langsung jadi. Dalam situasi seperti ini diperlukan pembaca lain, redaktur koran misalnya, yang berfungsi sebagai kurator yang menguji sekaligus memilih puisi-puisi terbaik. 

Dalam menulis, Dedet pantang mengulang hal yang sama (streotif) karena terkesan basi. Penulis yang baik harus memiliki sidik jari, pembeda dengan penyair lain, baik melalui sikap, cara berbahasa, itu merupakan lageyan (style).

Dedet dengan suasana pedesaan/Foto: Hermard
Dedet dengan suasana pedesaan/Foto: Hermard
Dedet sangat mengagumi penyair Cina klasik bernama Li Po (Li Bai) yang hidup pada masa dinasti Tang. Li Po menulis tidak kurang dari seribu sajak/puisi yang ditulis secara spontan dengan ramuan imajinasi. Jadi tidak mengherankan jika puisi-puisi Dedet kemudian bersifat spontan dan imajis, baik dalam antologi Apokalipsa Kata (TriBEE, 2022),  Pengakuan Adam di Bukit Huka (Teras Budaya Jakarta, 2015), dan Gembok Sangkala (Forum Sastra Surakarta, 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun