Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Puisi, Jalan Melingkar Bermula dari Li Po

20 Juni 2024   12:16 Diperbarui: 21 Juni 2024   21:07 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pencarian diri lewat Apokalipsa Kata/Foto: Hermard

Suatu hari, saat melihat pelangi, Dedet yang masih duduk di sekolah dasar buru-buru  lari ke sungai, merunduk di balik semak-semak mengintip ketepian sungai (arah bendungan), berharap ada Nawang Wulan turun dari kayangan dan selendangnya bisa ia curi...

Rumah di Pakunden/Foto: Hermard
Rumah di Pakunden/Foto: Hermard
Hal-hal itu tertanam kuat dalam ingatan. Artinya, tradisi berpikirnya  dilatari oleh hal-hal ora ilok, misalnya  dilarang makan di depan pintu, tidak boleh menunjuk kuburan. Di sisi lain, orang tua sangat percaya kepada yang momong, meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan.

Dedet menghayati hidup di lingkungan agraris, menyebabkan pemikirannya tidak ilmiah.

"Sampai sekarang saya tidak bisa lepas dari pemikiran-pemikiran jawa tradisi. Meskipun saya berusaha menentang pemikiran-pemikiran itu. Misalnya saja mengapa di dekat bayi harus ada peniti, dlingo bengle, di bawah bantalnya harus tersedia gunting kecil, tapi selalu tidak menemukan jawaban secara rasional. Hal-hal di luar nalar itu saya alami, membuat saya merasa mengambang dan kemungkinan hal ini juga tercermin dalam beberapa puisi saya," ungkap Dedet.

Semasa SMA sering main ke shoping center, nunut membaca puisi-puisi majalah Horison. Saat itu Horison masih cetak sederhana dan covernya hanya seperti orek-orekan hitam putih pelukis Jihan dan beberapa pelukis lainnya.

Selain Horison, Dedet membaca buletin Tamansiswa, Pusara, karena kakak angkat menjadi guru di SMA Taman Dewasa milik Tamansiswa. 

Dari Pusara,  Dedet mengetahui karya tokoh-tokoh Persada Studi Klub (PSK), seperti Sutirman Eka Ardhana, Emha Ainun Nadjib,  Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa.

Saat itu Dedet penasaran dengan puisi Sutirman Eka Ardhana yang memumculkan kata nipah. Kata nipah begitu asing. Dulu mencari pengertian sebuah kata harus membuka kamus, datang ke perpustakaan mencari referensi. Tidak seperti sekarang, tinggal searching google, semua beres dalam waktu sekejap. 

Situasi ini menimbulkan kesadaran bahwa di dalam menulis puisi, penyair harus mempertimbangkan pilihan kata (diksi) dengan sungguh-sungguh.

Penyair dengan delapan saudara itu juga sering keluyuran malam ke Malioboro, Senisono, menyaksikan dari kejauhan seniman dan sastrawan PSK bergerombol bercakap-cakap. 

Terkadang muncul keinginannya  tampil seperti mereka.  Ini menjadikan  virus ia masuk ke Fakultas Sastra UNS, meskipun tidak direstuai orang tua. Ayahnya menginginkan ia kuliah di jurusan teknik atau setidaknya publisistik (Sospol).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun