Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Puisi, Jalan Melingkar Bermula dari Li Po

20 Juni 2024   12:16 Diperbarui: 21 Juni 2024   21:07 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan kepenyairan Dedet tidak bisa dilepaskan dari sosok Kriapur (Kristianto Agus Purnomo), penyair kelahiran   Solo, 6 Agustus 1959, sempat digadang-gadang sebagai penyair berbakat (sayangnya ia berusia pendek).  

Dedet sering meminta pertimbangan mengenai puisi-puisinya. Bahkan ia sempat terpengaruh terhadap tema-tema puisi Kriapur yang bersinggungan dengan masalah-masalah filsafat, eksistensialisme, mempertanyakan apa hakikat manusia sesungguhnya, membicarakan tentang maut dan kematian. 

Untungnya pengaruh itu tidak berlanjut (terutama setelah  Kriapur berpulang)  dan Dedet kembali menulis puisi-puisi bertema pengalaman hidup sehari-hari, bukan hal-hal abstrak. Bahkan menulis puisi yang setengah guyon.

"Puisi saya untuk melepaskan unek-unek. Respon terhadap keadaan dan kejadian di sekitar  dengan menyindir sembunyi-sembunyi. Puisi-puisi saya menjadi sangat jawa, tidak berani berteriak keras menyuarakan tanggapan terhadap situasi sekeliling. Saya menyampaikan secara sembunyi-sembunyi-nabok nyilih tangan...," ujar Dedet datar.

Di samping itu Dedet tidak ingin hadir sebagai pendobrak atau pembaru dalam dunia perpuisian. Puisi-puisinya sama sekali tidak terkait dengan kritik sosial. Ia lebih suka ngece awake dhewe-menyindir diri sendiri,  menyebabkan puisi-puisinya begitu personal.  Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Dedet lahir dan tinggal di desa, sehingga ide-idenya muncul dari peristiwa keseharian dengan meminjam kejadian alam.

Contohnya saat sakit, melalui jendela kamar ia melihat pelepah jantung pisang tanggal satu per satu yang dibayangkan sebagai kelopak waktu. Terlebih saat jantung pisang seakan-akan menunjuk ke arahnya...peristiwa  itu bisa menjadi momen puitik tentang ajal, misalnya.

Jadi puisi-puisi Dedet cenderuang riil dengan imajinasi keseharian. Di desa banyak sekali ide yang bisa dituliskan: akar, pohon, sawah, bisa mewakili diri sendiri untuk dihayati menjadi semacam metafora.

Dalam proses kreatif, puisi Dedet selalu bermula dari sebuah kejadian yang langsung terolah dalam pikiran. Ia menulis langsung sekali jadi, tidak suka dengan proses editing.

"Kalau diganti ya diganti total, bukan diedit. Saya justeru senang kalau terasing dari puisi yang baru saya tulis. Puisi semacam ini justeru saya anggap puisi yang jadi karena menimbulkan kejutan bagi diri sendiri," ungkap Dedet.

Menulis puisi tidak dilakukan bertahap bait demi bait, tetapi harus merupakan satu kesatuan yang langsung jadi. Dalam situasi seperti ini diperlukan pembaca lain, redaktur koran misalnya, yang berfungsi sebagai kurator yang menguji sekaligus memilih puisi-puisi terbaik. 

Dalam menulis, Dedet pantang mengulang hal yang sama (streotif) karena terkesan basi. Penulis yang baik harus memiliki sidik jari, pembeda dengan penyair lain, baik melalui sikap, cara berbahasa, itu merupakan lageyan (style).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun