Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mari Berkawan dengan Pepohonan

15 Juni 2024   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2024   16:45 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bibit pohon Nagasari dan Bisbul | Foto: Hermard

Seperti menunggumu, pohon-pohonku terus tumbuh. Mencintai bumi sedalam-dalamnya, menghormati angkasa setinggi-tingginya. Sementara itu: waktu berbuah, ruang berbunga. Aku mencatatnya dari rasa ke kata... (Penggalan puisi "Semua Ada Musimnya" -- Eka Budianta).

Kesadaran kita terhadap keberadaan pohon-pohon besar kian menjauh. Banyak orang tidak mengenali lagi pohon bisbul, prana jiwa, menyan, pelangi, kluwak, dluwang, dan sebagainya. 

Pohon Pelangi di Bondowoso | Foto: Dok. pribadi Fasis
Pohon Pelangi di Bondowoso | Foto: Dok. pribadi Fasis
Tidak usahlah serumit itu, anak tetangga di kota, seorang mahasiswa, dengan jujur mengakui bahwa yang ia kenali hanya dua pohon, yaitu pohon kelapa dan pohon pisang. Selain itu, ia tidak memiliki referensi, tidak mampu membedakan pohon nangka, manggis, sirzak, durian, duku, dan lainnya.

Pohon kelapa  diakrabi karena sejak mengikuti kegiatan pramuka, ia berkewajiban mengenali dan memahami makna pohon kelapa. Sedangkan pohon pisang dikenali karena setiap berkunjung ke rumah Eyangnya di Galur,  Kulon Progo, pohon pisang banyak ditemui di pekarangan belakang rumah.

Pohon Bisbul | Foto: Dok. pribadi Ipul Bachri
Pohon Bisbul | Foto: Dok. pribadi Ipul Bachri
Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita sudah dibekali pengetahuan  bahwa pohon sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pohon mampu menyimpan air, mencegah erosi, dan menyediakan oksigen bagi kehidupan manusia. Untuk itu sudah semestinya kita menanam, merawat, dan mengenali pohon untuk melestarikan lingkungan hidup.  

Sayangnya prinsip pelestarian yang tertanam dalam masyarakat luas lebih kepada pelestarian tanaman multiguna, menghasilkan cuan dalam waktu singkat, misalnya tanaman buah-buahan. 

Begitu pohon mangga, durian, kelengkeng, atau lainnya berbuah, maka akan dipanen atau "ditebas" ke pengijon untuk menghasilkan uang. 

Pengecualian berlaku bagi sosok Beny Than Heri yang menanam pohon buah-buahan, baik di ruang publik maupun halaman rumah (pecinta pohon) di Pontianak. 

Ia menanam pohon lewat gerakan Pohon Kenangan dengan alasan, secara ekologi, pohon menghasilkan oksigen dan menyerap polusi udara, meredam kebisingan, menjaga air tanah, memberikan kesejukan dan kesegaran alami. Sedang dari sisi estetika, pohon memberikan keindahan, lingkungan  menjadi  asri dan nyaman dipandang.

Dikutip dari Pontinesia.com, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah membantu meningkatkan ruang terbuka hijau Kota Pontianak dan sekitarnya. Beny merasa, semakin hari kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim makin meningkat.

"Hadirnya gerakan Pohon Kenangan agar pohon bisa terus tumbuh baik, memberi manfaat dan menjadi kenangan baik," papar Beny.

Kenyataan lain menunjukan bahwa sebagian masyarakat menjauhi pohon-pohon besar (beberapa orang menyebutnya sebagai pohon pusaka) karena pelestariannya dengan cara menciptakan ketakutan-ketakutan bagi masyarakat, bukan kesadaran terhadap keelokan dan kemanfaatan pohon pusaka. 

Misalnya saja pohon aren, beringin, dianggap sebagai rumah gendruwo (hantu), sehingga kalau ditebang akan mengakibatkan celaka. 

Seandainya masyarakat lebih bisa berpikir logis, maka menebang pohon aren dan beringin sama sekali tidak berkaitan dengan hantu, sesuatu yang angker, tetapi lebih berkaitan dengan berkurangnya sumber air bagi masyarakat sekitar.

Orang kurang memahami bahwa pohon  aren (arenga pinnata) dengan banyak ijuk, menyebabkan air hujan menempel dan turun perlahan, memungkinkan tanah mempunyai kesempatan menghisap air. 

Pohon beringin (ficus benjamina) dengan batang dan akar tunggang besar,  mampu menjaga keberadaan air, keluar ke permukaan bumi lewat tuk dan belik (di pinggir sungai). 

Pun pohon gayam (inocarpus fagifer) sanggup menyimpan air karena memiliki perakaran yang dalam berupa akar tunggang buttress rooted; mampu membelah tanah, berfungsi sebagai biopori  meresapkan  air hujan  ke  dalam tanah.

Penyadaran terhadap keberadaan pohon pusaka dengan cerita-cerita horor,  secara kebetulan pohon pusaka memang berada di tempat angker, kompleks pemakaman, menjadikan pohon-pohon tersebut terhindar dari penebangan yang semena-mena.


Kerindangan  makam seniman | Foto: Hermard
Kerindangan  makam seniman | Foto: Hermard
Di kompleks pemakaman seniman Saptohoedojo, puluhan bahkan ratusan pohon langka, seperti pohon pranajiwa, kepel, kemenyan, pule, kluwak, sengaja ditanam.

"Tanaman-tanaman langka itu  didatangkan dari Bogor. Ditanam di kompleks makam seniman Giri Sapto agar bisa mengedukasi masyarakat, khususnya siswa yang berkemah atau berkunjung ke perpustakaan di seputar kompleks makam," jelas Yani Saptohoedojo.

Di kompleks makam seniman yang asri dan jauh dari kesan menyeramkan itu memang tersedia lahan untuk perkemahan. Upaya yang ingin dilakukan Yani dan beberapa orang pecinta pohon tidak lain mengidentifikasi tanaman-tanaman langka sekaligus memberi label  berisi informasi mengenai pohon tersebut, termasuk genus dan nama latinnya.  

Ini merupakan upaya agar generasi mendatang mengenali dan mencintai pohon-pohon langka yang mulai "berjarak" dengan masyarakat luas.

Randu Alas Bligo | Foto: Dok. pribadi Yupi
Randu Alas Bligo | Foto: Dok. pribadi Yupi
Di pinggir jalan desa Babrik, Seyegan, Sleman, menuju ke arah Selokan  Mataram, ada pohon randu alas berukuran cukup besar,  tumbuh menjulang.

Pada tahun 1999, saat awal  tinggal di perumahan, berlokasi di sebelah selatan pohon randu alas, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, saya melihat  ada masyarakat desa sekitar  meletakkan sesaji berupa kembang setaman dan membakar kemenyan/dupa. 

Sesaji diletakan  di cerukan batang bagian bawah. Terdapat warna hitam bekas sisa-sisa pembakaran kemenyan---menandakan bahwa tradisi meletakan sesajen sudah berlangsung lama. Hanya saja tradisi sesajen itu kian kesini kian berkurang dan menghilang karena jalan yang semula sepi, menjadi ramai (dengan hadirnya perumahan). Kemungkinan lainnya, pelaku sesajen sudah tidak ada lagi (terjadinya pergeseran masyarakat tradisi agraris ke masyarakat moderen). 

Meskipun begitu, setelah dua puluh tahun berlalu, pohon randu alas tetap meninggalkan masalah. Ketika seorang kerabat ingin mendirikan bangunan rumah tepat di belakang pohon randu alas dan ingin menebang pohon itu, para tetua menceritakan bahwa pohon itu wingit. Kalau ingin menebang, sebaiknya menjalani laku tertentu dan mengadakan acara selamatan. 

Sampai hari ini pohon randu alas masih berdiri kokoh meskipun di belakangnya sudah berdiri bangunan rumah berukuran  luas  bergaya minimalis.

Saat ini, pohon-pohon pusaka  jarang dikenali dengan baik oleh masyarakat, terlebih generasi muda. Dalam konteks ini perlu adanya upaya instansi terkait merawat dan memperkenalkan kembali tanaman-tanaman langka, dihubungkan dengan sejarah, budaya, dan tata kehidupan masyarakat.

Buku tulisan penyair Iman Budhi Santosa, Suta Naya Dhadhap Waru (Interlude, 2017) setidaknya memberi kesadaran kepada kita mengenai kenyataan dekatnya hubungan wong cilik dengan tumbuhan.

"Bersama tumbuhan, mereka   membangun semacam hutan lindung yang nyaman dan aman buat menemukan identitas dan kemandirian di tengah hiruk-pikuk zaman dan perebutan kekuasaan tak henti-hentinya. Di balik kesunyian alam pedesaan dan sikap diam tumbuhan itulah mereka bersembunyi sekaligus mengukuhkan jati dirinya sebagai petani serta menempatkan tumbuhan sebagai perisai dan sedulur sinarawedi," tulis Iman dalam kata pengantar.

Jadi jangan heran jika dalam hidup wong cilik terus diwarnai usaha untuk jujur dan narima ing pandum meniru kodrat tumbuhan. Senantiasa mengalah, walau sesungguhnya tak pernah terkalahkan oleh siapa pun. 

Mereka tetap di tempatnya, berpijak pada tanah dengan sepasang kaki meneladani tumbuhan yang terus menjulurkan akar serta titik tumbuhnya walau tombak peluru bagaikan hujan merajam batang serta dahannya sepanjang hari.

Di bagian lain dituliskan bahwa manusia Jawa di pedalaman benar-benar manusia tumbuhan; manusia agraris. Sebagai wujud rasa terima kasih pada tumbuhan yang telah menemani lara-lapa wong cilik menjalani laku-prihatin sepanjang hayat,  mereka lalu memuliakan berbagai nama tumbuhan menjadi identitas nama desa kampung halaman yang dicintainya. Misalnya saja Bungur, Dieng, Gambir, Gondang, Jombang, Kedu, Kendal, Semanggi, Ploso, Saradan, Tangkil, dan Walikukun.

Pohon Bungur (lagerstroemia speciosa), di Jawa dikenal juga  sebagai pohon ketangi, menjadi nama desa  di Karangrejo (Tulungagung) dan Sukomoro (Nganjuk).

Walikukun yang lebih kita kenal  sebagai nama stasiun kereta api dan wilayah di kecamatan Widodaren, Ngawi, Jawa Timur; ternyata berasal dari nama pohon yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa  dapat melindungi rumah dari gangguan makhluk halus dengan cara ditanam maju-pat (di empat sudut pekarangan).

Menyebut krasak, maka yang langsung teringat adalah nama sungai (kali) Krasak yang kerap menerima muntahan lahar dingin dari gunung Merapi. 

Pohon krasak (ficus iscos) daun mudanya dapat disayur, sedangkan daun tuanya sebagai pakan ternak. Nama desa Krasak terdapat di Salaman (Magelang), dan Pecangan (Jepara). 

Hal menarik lain berkaitan dengan pohon ploso/plasa (butea monosperma) yang tumbuh di hutan di bagian timur pulau Jawa. Seperti pohon jati, pada musim kemarau daun pohon ploso berguguran. 

Bunga pohon ini menghasilkan butein sebagai bahan pewarna alam. Sedangkan getahnya, disebut gom, dipakai untuk bahan penyamak dan pengobatan tradisional. Ploso dipakai sebagai nama desa  di Wonoayu (Sidoarjo) dan Grati (Pasuruan).

Kekurangan buku Suta Naya Dhadhap Waru karena tidak disertai foto pohon-pohon yang dituliskan. Hal ini berbeda dengan buku The Poetry of Nature (PT Semen Gresik, 2007) yang dipenuhi dengan foto pohon (hitam putih) dilengkapi tempat keberadaan pohon tersebut, meskipun buku ini berisi puisi, lirik lagu, dan esai pendek.

Pohon Kapas di Nguling-Probolinggo | Foto dari buku  The Poetry of Nature
Pohon Kapas di Nguling-Probolinggo | Foto dari buku  The Poetry of Nature
Sebagai penutup, saya kutipkan gagasan Eka Budianta berkaitan dengan spiritualitas pohon: sekarang, apakah yang terpenting di mata kita? Pohon-pohon besar Indonesia tidak boleh dilupakan. Di sejumlah desa, taman, kebun raya, dan hutan, kita masih dapat menjumpai beberapa pohon yang lahir dan tumbuh sejak sebelum Republik Indonesia berdiri. Pohon-pohon itu adalah saksi zaman. Mereka perlu dipelihara, dicintai, dan "diajak bicara". Pesan apakah yang mereka ingin sampaikan untuk masa depan?

Referensi:
Suta Naya Dhadhap Waru (Iman Budhi Santosa, Interlude, 2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun