Seperti menunggumu, pohon-pohonku terus tumbuh. Mencintai bumi sedalam-dalamnya, menghormati angkasa setinggi-tingginya. Sementara itu: waktu berbuah, ruang berbunga. Aku mencatatnya dari rasa ke kata... (Penggalan puisi "Semua Ada Musimnya" -- Eka Budianta).
Kesadaran kita terhadap keberadaan pohon-pohon besar kian menjauh. Banyak orang tidak mengenali lagi pohon bisbul, prana jiwa, menyan, pelangi, kluwak, dluwang, dan sebagainya.Â
Pohon kelapa  diakrabi karena sejak mengikuti kegiatan pramuka, ia berkewajiban mengenali dan memahami makna pohon kelapa. Sedangkan pohon pisang dikenali karena setiap berkunjung ke rumah Eyangnya di Galur,  Kulon Progo, pohon pisang banyak ditemui di pekarangan belakang rumah.
Sayangnya prinsip pelestarian yang tertanam dalam masyarakat luas lebih kepada pelestarian tanaman multiguna, menghasilkan cuan dalam waktu singkat, misalnya tanaman buah-buahan.Â
Begitu pohon mangga, durian, kelengkeng, atau lainnya berbuah, maka akan dipanen atau "ditebas" ke pengijon untuk menghasilkan uang.Â
Pengecualian berlaku bagi sosok Beny Than Heri yang menanam pohon buah-buahan, baik di ruang publik maupun halaman rumah (pecinta pohon) di Pontianak.Â
Ia menanam pohon lewat gerakan Pohon Kenangan dengan alasan, secara ekologi, pohon menghasilkan oksigen dan menyerap polusi udara, meredam kebisingan, menjaga air tanah, memberikan kesejukan dan kesegaran alami. Sedang dari sisi estetika, pohon memberikan keindahan, lingkungan  menjadi  asri dan nyaman dipandang.
Dikutip dari Pontinesia.com, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah membantu meningkatkan ruang terbuka hijau Kota Pontianak dan sekitarnya. Beny merasa, semakin hari kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim makin meningkat.
"Hadirnya gerakan Pohon Kenangan agar pohon bisa terus tumbuh baik, memberi manfaat dan menjadi kenangan baik," papar Beny.
Kenyataan lain menunjukan bahwa sebagian masyarakat menjauhi pohon-pohon besar (beberapa orang menyebutnya sebagai pohon pusaka) karena pelestariannya dengan cara menciptakan ketakutan-ketakutan bagi masyarakat, bukan kesadaran terhadap keelokan dan kemanfaatan pohon pusaka.Â