Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Selincam Cornel Simanjuntak: Pertunjukan Panggung, Musik, dan Kekuatan Kata

6 Juni 2024   07:54 Diperbarui: 7 Juni 2024   09:09 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antusiasme penonton/Foto: Hermard

Dongengan Landung Simatupang/Foto: Jane Ardaneshwari
Dongengan Landung Simatupang/Foto: Jane Ardaneshwari
Imajinasi penonton digiring lewat dongengan tokoh Rulan (Putu Alit Panca) dan ayahnya (Landung Simatupang), serta tokoh Roli (Rolly Roudel) mengenai perjalanan hidup Cornel Simanjuntak dengan dukungan visualisasi melalui layar lebar.  

Lewat tayangan layar lebar, Landung Simatupang berhasil "mengawinkan" imajinasi penonton yang dibagikan lewat tuturan dengan realitas sekeliling kehidupan Cornel Simanjuntak, komponis  kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, tahun 1921.  

Setidaknya penonton menemukan dunia realitas rumah semasa kecil sang komponis, wajah J Schouten-guru musik, bangunan gedung/ruang sekolah Hollandsche Indische Kweekschool (HIK)-  sekolah keguruan Xaverius College di Muntilan, kegiatan masyarakat Jawa dalam bermusik, kedatangan penjajah Jepang, orang-orang berpakaian goni, dan lainnya.

Realitas dalam screen/Foto: Tsani
Realitas dalam screen/Foto: Tsani
Cerita terus mengalir sampai bagaimana Cornel menyadari jika bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia, terutama dalam puisi-puisi Sanusi Pane, Amir Hamzah,  Tatengkeng, memiliki bunyi-bunyi berirama dengan intonasi melodius. Kemudian bagaimana kecurigaan Binsar (tinggal di Solo) terhadap Cornel (di Jakarta) yang berpihak pada Jepang. 

Saat itu banyak radio umum, diletakan  dalam kotak nenyerupai kandang merpati,  sengaja dipasang tentara Jepang di berbagai tempat, dipancangkan pada tiang setinggi dua sampai tiga meter. Binsar mendengar  gubahan lagu Cornel berjudul "Hancurkanlah Musuh" yang berisi propaganda Jepang,  mengajak masyarakat mengganyang  Inggris dan Amerika.

Cerita berlanjut dengan situasi  sulit pada akhir tahun 1944, saat beras tidak mudah didapatkan. Cornel  mempunyai ide "nakal", mengajak Binsar (sama-sama tinggal serumah di Tanah Tinggi, Jalan Purbaya 21, Jakarta)  berjualan arang memakai gerobak ke rumah orang-orang yang dikenal, termasuk rumah Ibu Sud (penyanyi dan pengarang lagu). 

Lima keranjang arang diantarkan, meskipun Bu Sud merasa tidak pernah memesan. Untuk mendapatkan makan, Cornel menodongkan kata-kata, "Ibu kami lapar...," yang membuat tuan rumah tidak tega dan memberi mereka makan nasi goreng...

Siluet/Foto: dokpri Hermard
Siluet/Foto: dokpri Hermard
"Dalam keseluruhan pertunjukan, Landung Simatupang sebagai sutradara dan penulis skrip, berhasil memanfaatkan setiap kata yang diucapkan. Baik dengan memberi tekanan pada kata-kata tertentu maupun melalui pemilihan diksi dan cara pengucapannya. Ia berhasil memaksimalkan  dan merawat kata-kata dalam menghidupkan pertunjukan," jelas Noereska, salah seorang penonton dan pendiri komunitas Rumah Literasi Blora.

Pertunjukan berdasarkan serpihan kehidupan Cornel Simanjuntak (1921-1946), dibingkai  lagu-lagu ciptaan Cornel yang  diaransemen ulang Bagus Masazupa dan dinyanyikan  Asriuni Pradipta beserta kawan-kawan, mampu memukau ratusan penonton.

"Mendengar lagu  Citra yang dinyanyikan Sita Nursanti dan Asriuni Pradipta terasa begitu lembut, merdu, dan indah," tutur Ibu Negara Omah Ampiran penuh rasa kagum.

Pertunjukan Selincam Cornel Simanjuntak tentu begitu membekas di hati enam ratusan penonton yang memenuhi Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Bukan saja karena para pemusik, pemeran, dan penyanyi yang tampil menarik, tapi karena pementasan malam itu ditutup dengan meleburnya seluruh penampil dan penonton dalam lagu "Tanah Tumpah Darahku" ciptaan Cornel Simanjuntak/Sanusi Pane.

Tanah tumpah darahku yang suci mulia

Indah dan permai bagaikan intan permata

Tanah airku tanah pusaka Ibuku

S'lama hidupku aku setia padamu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun