Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Selincam Cornel Simanjuntak: Pertunjukan Panggung, Musik, dan Kekuatan Kata

6 Juni 2024   07:54 Diperbarui: 7 Juni 2024   09:09 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selincam Cornel/Foto: Memet Chairul Slamet

Biasanya aktor sekaligus sastrawan kawakan, Landung Simatupang, selalu naik panggung dengan pembacaan naskah atau bermain teater. Berbeda dengan pementasan kali ini (4/6/2024), di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, terasa begitu istimewa lewat pementasan   bertajuk Selincam Cornel Simanjuntak: Sang Komponis dan Musiknya. Lelaki paruh baya itu memadukan media seni pertunjukan dengan  elemen musik mini orkestra, paduan suara, pembacaan dramatik aktor, dan seni visual kontemporer.

Seperti yang dituliskan dalam akun pribadinya, Landung menjabarkan jika pergelaran ini merupakan cerapan atas mahakarya Cornel Simanjuntak - suatu interpretasi personal yang dihadirkan ke masyarakat penonton melalui media seni pertunjukan.

"Alih-alih menggunakan penggayaan musik klasik-serius, pergelaran kolaboratif ini memilih menggunakan mode penggayaan musik yang lebih akrab di telinga masyarakat awam, sehingga gagasan untuk membumikan karya-karya Cornel akan dapat tercapai, tanpa mengurangi daya magis, artistik, dan poetika setiap karyanya," ungkap Landung.

Narasi-narasi kecil yang  dihadirkan melalui bacaan dramatik aktor menjadi wadah guna merangkai ingatan personal mengenai sosok Cornel Simanjuntak, sekaligus ajakan bagi masyarakat dan generasi penerus untuk meneladani salah satu pahlawan musik Indonesia yang mulai dilupakan.

Antusiasme penonton/Foto: Hermard
Antusiasme penonton/Foto: Hermard
Proses kreatif pertunjukan diawali  pemikiran Landung  bahwa sesungguhnya Cornel Simanjuntak merupakan tokoh pelopor, meskipun ia tidak setenar Chairil Anwar dalam dunia sastra Indonesia, khususnya puisi. Karya-karya Cornel kurang diketahui, apalagi diapresiasi oleh masyarakat. 

Secara kebetulan Landung mempunyai ingatan-ingatan personal terhadap cerita-cerita mengenai Cornel Simanjuntak dari kedua orang tuanya. Ayahnya merupakan teman sekolah, seasrama, saat Cornel sekolah di Hollandsche Indische Kweekschool (HIK)-  sekolah keguruan Xaverius College di Muntilan. 

Ingatan-ingatan itulah yang dirangkai Landung untuk melengkapi bahan utama dari naskah Binsar Sitompul dan  Hesri  Setiawan tentang Cornel Simanjuntak. Dari bahan-bahan itulah skrip ditulis dan digarap menjadi satu pementasan.

"Ini sebenarnya merupakan upaya sederhana untuk  mencoba menggelitik, menumbuhkan reapresiasi terhadap Cornel Simanjuntak dan karya-karyanya agar lebih dikenal generasi muda," harap Landung lewat tayangan pendek di akun instagramnya.

Sita dan Asriuni/Foto: dokpri Hermard
Sita dan Asriuni/Foto: dokpri Hermard
Tidak berlebihan jika Landung, lulusan Sastra Inggris UGM,  mengedepankan sosok Cornel Simanjuntak dalam pertunjukan panggung dengan melibatkan beberapa aktor panggung, pemusik, dan penyanyi, antara lain Putu  Alit Panca, Irfanuddien Ghozali, Rolly Roudel, Sita Nursanti, Enji Sekar, Bagus Masazupa, Oscar Artunes, Asriuni Pradipta (Achi), Irene Vista, dan Sebastian Anugerah.

Cornel menciptakan lagu-lagu yang selalu dikenang: Maju Tak Gentar, Kemuning, Bungaku, O Ale Alogo, Indonesia Tetap Merdeka, Oh Angin, Pada Pahlawan, Sorak-sorak Bergembira, Kupinta Lagi, Citra, Tanah Tumpah Darahku, Maju Indonesia, Taufan, dan Mekar Melati.

Dalam tata panggung,  pemain musik ditempatkan di stage dengan leveling cukup tinggi, di bawahnya tersisa ruang bagi hilir mudik pemain/penyanyi. Di sisi kanan terdapat screen (layar lebar). Space paduan suara terletak  di bawahnya. Sedangkan arah depan sisi kanan-kiri panggung, terdapat stage kecil berisi meja dan rak buku  serta pohon, tempat bermain narator.

Dongengan Landung Simatupang/Foto: Jane Ardaneshwari
Dongengan Landung Simatupang/Foto: Jane Ardaneshwari
Imajinasi penonton digiring lewat dongengan tokoh Rulan (Putu Alit Panca) dan ayahnya (Landung Simatupang), serta tokoh Roli (Rolly Roudel) mengenai perjalanan hidup Cornel Simanjuntak dengan dukungan visualisasi melalui layar lebar.  

Lewat tayangan layar lebar, Landung Simatupang berhasil "mengawinkan" imajinasi penonton yang dibagikan lewat tuturan dengan realitas sekeliling kehidupan Cornel Simanjuntak, komponis  kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, tahun 1921.  

Setidaknya penonton menemukan dunia realitas rumah semasa kecil sang komponis, wajah J Schouten-guru musik, bangunan gedung/ruang sekolah Hollandsche Indische Kweekschool (HIK)-  sekolah keguruan Xaverius College di Muntilan, kegiatan masyarakat Jawa dalam bermusik, kedatangan penjajah Jepang, orang-orang berpakaian goni, dan lainnya.

Realitas dalam screen/Foto: Tsani
Realitas dalam screen/Foto: Tsani
Cerita terus mengalir sampai bagaimana Cornel menyadari jika bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia, terutama dalam puisi-puisi Sanusi Pane, Amir Hamzah,  Tatengkeng, memiliki bunyi-bunyi berirama dengan intonasi melodius. Kemudian bagaimana kecurigaan Binsar (tinggal di Solo) terhadap Cornel (di Jakarta) yang berpihak pada Jepang. 

Saat itu banyak radio umum, diletakan  dalam kotak nenyerupai kandang merpati,  sengaja dipasang tentara Jepang di berbagai tempat, dipancangkan pada tiang setinggi dua sampai tiga meter. Binsar mendengar  gubahan lagu Cornel berjudul "Hancurkanlah Musuh" yang berisi propaganda Jepang,  mengajak masyarakat mengganyang  Inggris dan Amerika.

Cerita berlanjut dengan situasi  sulit pada akhir tahun 1944, saat beras tidak mudah didapatkan. Cornel  mempunyai ide "nakal", mengajak Binsar (sama-sama tinggal serumah di Tanah Tinggi, Jalan Purbaya 21, Jakarta)  berjualan arang memakai gerobak ke rumah orang-orang yang dikenal, termasuk rumah Ibu Sud (penyanyi dan pengarang lagu). 

Lima keranjang arang diantarkan, meskipun Bu Sud merasa tidak pernah memesan. Untuk mendapatkan makan, Cornel menodongkan kata-kata, "Ibu kami lapar...," yang membuat tuan rumah tidak tega dan memberi mereka makan nasi goreng...

Siluet/Foto: dokpri Hermard
Siluet/Foto: dokpri Hermard
"Dalam keseluruhan pertunjukan, Landung Simatupang sebagai sutradara dan penulis skrip, berhasil memanfaatkan setiap kata yang diucapkan. Baik dengan memberi tekanan pada kata-kata tertentu maupun melalui pemilihan diksi dan cara pengucapannya. Ia berhasil memaksimalkan  dan merawat kata-kata dalam menghidupkan pertunjukan," jelas Noereska, salah seorang penonton dan pendiri komunitas Rumah Literasi Blora.

Pertunjukan berdasarkan serpihan kehidupan Cornel Simanjuntak (1921-1946), dibingkai  lagu-lagu ciptaan Cornel yang  diaransemen ulang Bagus Masazupa dan dinyanyikan  Asriuni Pradipta beserta kawan-kawan, mampu memukau ratusan penonton.

"Mendengar lagu  Citra yang dinyanyikan Sita Nursanti dan Asriuni Pradipta terasa begitu lembut, merdu, dan indah," tutur Ibu Negara Omah Ampiran penuh rasa kagum.

Pertunjukan Selincam Cornel Simanjuntak tentu begitu membekas di hati enam ratusan penonton yang memenuhi Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Bukan saja karena para pemusik, pemeran, dan penyanyi yang tampil menarik, tapi karena pementasan malam itu ditutup dengan meleburnya seluruh penampil dan penonton dalam lagu "Tanah Tumpah Darahku" ciptaan Cornel Simanjuntak/Sanusi Pane.

Tanah tumpah darahku yang suci mulia

Indah dan permai bagaikan intan permata

Tanah airku tanah pusaka Ibuku

S'lama hidupku aku setia padamu

Sampai kini masih terbayang  kekuatan kata yang diucapkan tokoh Rulan dan Ayah yang mampu menyihir penonton, bagaimana  Cornel mengajar musik di sekolah dasar Van Lith di Jakarta, bekerja  di Kantor Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) Jepang. 

Setelah itu bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API), berjuang  melawan serdadu Belanda di Tangsi Penggorengan, terlibat tembak-menembak di kawasan Senen dan peluru bersarang  di paha Cornel. Akhirnya, dari Sanatorium Pakem sebuah truk penuh duka membawa jenazah Cornel Simanjuntak ke pemakaman Kerkhof di bilangan Gondomanan Yogyakarta...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun