Cak Kandar dengan jujur mengakui bahwa orang jualan buku  marginnya sangat tipis. Kalau tidak diimbangi dengan jualan makanan dan kopi, misalnya, maka akan berat. Misalnya Warung Sastra, untuk sewa tempat saja sudah berapa, sementara margin buku itu hanya sepuluh sampai lima belas porsen untuk toko.Â
Contoh lain adalah toko buku Berdikari-Berdikari Book and Coffee- di Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Pemilik toko buku menopang kehidupan sambil berjualan makanan, kopi, karena mengandalkan dodolan buku saja tidak akan bisa.Â
Hitung-hitungan cara bodon saja tidak akan masuk. Itulah sebabnya toko buku yang pyur toko buku tidak akan bisa bertahan.
Ketika kemudian ada warung atau kafe yang bekerja sama dengan  toko buku, mengadakan kegiatan sastra, hal itu menjadikan suasana bersastra di Yogya menarik.
Toko-toko buku atau kafe menjadi ramai karena mereka mempunyai program rutin dengan mengajak komunitas sastra, pembaca, pecinta buku, melakukan diskusi dari kafe ke kafe.
"Warung atau kafe menjadi ramai karena sebelumnya memang dikunjungi para penulis, seniman yang memerlukan buku-buku dan ingin makan di sana," imbuh Latif.
Eko Triono sampai pada kesimpulan bahwa Yogya itu sebenarnya kekurangan ruang publik, sementara mahasiswa  butuh tempat berkumpul. Pertanyaannya, mengapa KopiRite Cafe yang sebenarnya cukup representatif untuk kegiatan bersastra atau kepenulisan, belum dengan serius berpikir ke arah sana? Padahal tempatnya nyaman, luas, representatif, dan aksesnya mudah dijangkau...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H