Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra, Toko Buku, dan Warung

16 Mei 2024   20:04 Diperbarui: 16 Mei 2024   20:50 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngobrol sastra di KopiRite/Foto: Tsani

Hari Rabu (15/5/2024) bagi saya merupakan hari istimewa karena bisa satu meja di KopiRite Cafe, Jalan Celeban 374, Yogyakarta, dengan Eko Triono (sastrawan, dosen), Herlinatiens (sastrawan), Cak Kandar (penerbit Interlude), Latif S. Nugraha (penggerak sastra Yogyakarta), dan dua teman dari Rumah Literasi Blora: Bety Novitasari dan Tsani.

Pertemuan santai di KopiRite terjadi atas  inisiatif Noer Indrijatno Eska, kerap disapa Noereska (salah satu pendiri Rumah Literasi Blora, pengelola KopiRite Cafe), jebolan Fakultas Sastra UGM tahun 1982. Lelaki yang dikenal sebagai pecinta berat sepeda onthel ini ingin mendapatkan cerita bagaimana kegiatan sastra Yogyakarta di luar kampus maupun institusi pemerintah.

"Ini saya nempil waktu dan referensi jenengan, karena di tengah kesendirian saya, ingin juga dikenal-kenalke ben ora suntuk dalam tempurung kesendirian. Jadi terima kasih atas kehadirannya. Saya ingin ngangsu kaweruh pemanfaatan warung kopi atau kafe dalam kegiatan sastra," seloroh Noereska mengawali pertemuan.

Sesaat kemudian bergulir cerita mengenai pengalaman Cak Kandar dalam mengamati kegiatan bersastra di Yogyakarta.

"Di Yogya memang ada beberapa teman yang mengelaborasi  warung dengan kegiatan sastra, terutama puisi. Di Yogya dulu ada teman-teman ngopi nyastro, misalkan. Itu anak-anak muda "beraliran bebas", tempatnya di Gedong Kafe di daerah  Nologaten," papar Cak Kandar.

Dijelaskan lebih jauh, di Gedong Kafe anak-anak muda tersebut bebas membaca puisi dengan gaya masing-masing.

Kemudian kegiatan berkembang di Basabasi Cafe yang dimiliki  Edi AH Iyubenu (Diva Press). Di sini ada kegiatan pengajian sastra dengan menghadirkan berbagai narasumber.

Belakangan kegiatan serupa berkembang di Warung Sastra, berupa toko buku merangkap toko penyetan dan kedai kopi. Karena toko buku, Warung Sastra bekerja sama dengan berbagai penerbit (terutama di Yogyakarta) dan mengadakan acara peluncuran buku, diskusi buku yang dilaksanakan secara rutin. 

Ini bisa terjadi karena penerbit memerlukan tempat dan warung berharap mendapatkan pelanggan. Terlebih warung yang terletak di Tegalrejo, Yogyakarta ini mengedepankan konsep lebih dari sekadar jualan buku.

Warung Sastra/Foto: Harian Jogja
Warung Sastra/Foto: Harian Jogja
Ada model lainnya, toko buku dengan konsep eksklusif, misalnya toko buku Akik, menyelenggarakan acara sastra  beragam tema dan bentuk.

Dulu pada zaman Mas Hari Leo (sekitar tahun 2000-an), ada sebuah kafe di bilangan ringroad utara, menyajikan   kegiatan membaca puisi bersama Dewo PLO. Kemudian Dewo PLO juga menggarap kegiatan serupa di DJ Kafe, Jalan Damai.

Kegiatan sastra secara temporal banyak dilakukan di beberapa kafe di Yogyakarta, misalnya di Kedai Kebun, meskipun tidak seintens kegiatan sastra di Warung Sastra maupun Basabasi Kafe.

"Warung dan kafe lainnya tidak bisa dibandingkan dengan Basabasi Cafe karena mereka terstruktur, masif. Mereka mempunyai penerbitan dan tujuan, sangat serius dalam mengerjakan segala sesuatunya," imbuh Herlinatiens.

Sementara itu, Eko Triono menilai keberhasilan Warung Sastra karena  sekarang semua orang menjadikan membaca sebagai life style, sehingga apa yang dilakukan Mas Bagus, pemilik Warung Sastra,  memotret semua penulis yang datang ke warungnya menjadi hal penting.

"Itu dilakukan untuk membangun branding: bahwa kalau Anda ingin ketemu mereka-para penulis terkenal- datanglah ke tempat saya-Warung Sastra," jelas Eko Triono.

Dulu di dekat UIN Sunan Kalijaga ada Black Stone Cafe, memiliki acara Mari Membaca Puisi Indonesia yang dimotori oleh teman-teman Teater ESKA. Tapi sekarang kafenya sudah tidak ada. 

Di samping itu, di Nologaten juga ada kafe yang bekerja sama dengan penerbit Pirus, mengadakan berbagai acara sastra, termasuk lomba deklamasi.

"Tapi begitulah nasib kegiatan dan pertunjukan sastra, tidak terkelola dengan baik keberlangsungannya," jelas Cak Kandar datar.

Latif, Cak Kandar, dan Herlinatiens/Foto: Hermard
Latif, Cak Kandar, dan Herlinatiens/Foto: Hermard
Pemerhati lain, Latif S. Nugraha, menilai bahwa pembeda kemeriahan kegiatan sastra adalah pandemi covid. Sebelum pandemi, kegiatan komunitas sastra, misalnya saja Studio Pertunjukan Sastra bisa merdiko.

Artinya penyelenggara, narasumber, dan hadirin sama-sama merasa merdeka, nyaman, karena memang tidak ada apa-apanya, tidak ada duitnya. 

Tapi setelah covid, sepertinya dunia kegiatan bersastra mengalami perubahan. Maka tidak mengherankan jika kemudian yang bisa berperan dalam kegiatan sastra adalah Warung Sastra karena mereka adalah bakul buku, basic-nya dodolan atau jualan buku dan bisa bekerja sama dengan penerbit.  

Mereka mampu menyiapkan ruang dan konsumsi, serta keperluan narasumber. Bahkan  dengan santai menghadirkan nama-nama besar  seperti Fahrudin Faiz, Putut EA dalam kegiatan sastra atau lainnya. Bahkan nama-nama yang sedang berkibar-kibar pun berhasil mereka hadirkan untuk kepentingan promosi.

Cak Kandar dengan jujur mengakui bahwa orang jualan buku  marginnya sangat tipis. Kalau tidak diimbangi dengan jualan makanan dan kopi, misalnya, maka akan berat. Misalnya Warung Sastra, untuk sewa tempat saja sudah berapa, sementara margin buku itu hanya sepuluh sampai lima belas porsen untuk toko. 

Contoh lain adalah toko buku Berdikari-Berdikari Book and Coffee- di Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Pemilik toko buku menopang kehidupan sambil berjualan makanan, kopi, karena mengandalkan dodolan buku saja tidak akan bisa. 

Hitung-hitungan cara bodon saja tidak akan masuk. Itulah sebabnya toko buku yang pyur toko buku tidak akan bisa bertahan.

Ketika kemudian ada warung atau kafe yang bekerja sama dengan  toko buku, mengadakan kegiatan sastra, hal itu menjadikan suasana bersastra di Yogya menarik.

Toko-toko buku atau kafe menjadi ramai karena mereka mempunyai program rutin dengan mengajak komunitas sastra, pembaca, pecinta buku, melakukan diskusi dari kafe ke kafe.

"Warung atau kafe menjadi ramai karena sebelumnya memang dikunjungi para penulis, seniman yang memerlukan buku-buku dan ingin makan di sana," imbuh Latif.

KopiRite Cafe/Foto: IG KopiRite
KopiRite Cafe/Foto: IG KopiRite
Eko Triono sampai pada kesimpulan bahwa Yogya itu sebenarnya kekurangan ruang publik, sementara mahasiswa  butuh tempat berkumpul. Pertanyaannya, mengapa KopiRite Cafe yang sebenarnya cukup representatif untuk kegiatan bersastra atau kepenulisan, belum dengan serius berpikir ke arah sana? Padahal tempatnya nyaman, luas, representatif, dan aksesnya mudah dijangkau...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun