Kurang lebih lima puluh tahun silam, setiap memasuki bulan Ramadan di Kuala Tungkal, setidaknya ada tiga tradisi yang saya alami, yaitu arakan sahur, berbagi hantaran buka puasa, dan bersih-bersih rumah.
Tradisi arakan sahur dipertahankan sampai hari ini. Bahkan sudah dijadikan agenda budaya tahunan lewat acara Festival Arakan Sahur.Â
Awalnya, arakan sahur dilakukan beberapa kelompok orang, Â berkeliling sambil memukul benda-benda yang mampu mengeluarkan suara musikal: potongan besi, ember, drum aspal, rebana, botol kaca, bambu, dan benda lainnya.Â
Kelompok-kelompok itu berkeliling berurutan, berjarak lima sampai sepuluh menitan. Mereka, kumpulan orang yang rela berkeliling dengan tujuan membangunkan umat muslim agar segera bersiap sahur. Hal itu dilakukan secara sukarela. Saat mereka melintas, terkadang ada keluarga yang keluar rumah memberi  kue ala kadarnya.Â
Sekarang keberadaan kelompok arakan sahur (umumnya terdiri dari remaja masjid) sangat prestisius, ikut dalam festival, mendapatkan hadiah dan uang pembinaan yang tidak sedikit dari Pemda dan Dinas Pariwisata.
Tradisi kedua merupakan hantaran makanan berbuka puasa. Seminggu atau sepuluh hari menjelang lebaran, ibu-ibu mengirimkan penganan (bisa berupa kue, sayur, lauk-pauk) ke tetangga seputar rumah (bisa mencapai lima sampai sepuluh rumah) saat sore hari.Â
Bagi penerima hantaran, ada semacam kewajiban membalas kiriman itu. Biasanya dilakukan sore itu juga atau setidaknya keesokan harinya.Â
Uniknya, kalau masakan spesial ibu untuk hantaran habis, maka terkadang hantaran yang sudah diterima hanya saling  dipertukarkan. Misalnya ibu menerima hantaran dari ibu A dan B, maka hantaran dari  ibu A disampaikan ke B, dan sebaliknya.Â
Kalaupun ibu A juga menghantarkan makanan yang sama ke ibu B, itu tidak menjadi masalah, tidak menjadi gosip atau biang rumpi. Hal terpenting, balas-membalas hantaran berbuka puasa sudah lunas dan sah.
Satu lagi tradisi unik adalah bersih-bersih rumah. Ada semacam anggapan bahwa tabungan orang-orang Kuala Tungkal,  dihabiskan sepenuhnya untuk merayakan  Ramadan.Â
Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Kenyataannya, menjelang Ramadan, banyak masyarakat yang memperbaiki rumah dan membeli barang-barang baru agar rumah mereka tampak indah, bersih, dan layak dikunjungi sanak saudara. Ada yang mengecat ulang, mengganti bagian rumah yang sudah lapuk, mengganti atap dan talang seng yang  bocor di sana-sini, atau membeli perabotan baru.
Paparan di atas merupakan cerita kenangan masa lalu, saat rumah panggung dengan dinding papan, atap daun nipah, drum-drum besar penampung air hujan masih berjaya.Â
Saat itu rumah penduduk jaraknya  berjauhan karena masih banyak tanah kosong, alat transportasi darat hanya ada becak samping, masyarakatnya begitu homogen, dan mata pencarian terbatas pada berdagang, bertani, dan nelayan.
Kini semua telah berubah. Usaha perbankan, pariwisata, budi daya burung walet, kuliner, bertumbuh dengan gegap gempita.Â
Transportasi Jambi ke Kuala Tungkal pun tidak lagi sepenuhnya tergantung pada transportasi (kapal) laut, tetapi sudah ada jalan darat yang cukup memadai.Â
Jika menggunakan kapal laut perjalanan ditempuh selama sehari semalam, maka (kini) dengan mobil pribadi, perjalanan Jambi-Kuala Tungkal, hanya ditempuh dalam waktu tiga jam perjalanan.Â
Keberadaan jalan darat yang menghubungkan Jambi -- Kuala Tungkal dan keberadaan pelabuhan Marina yang membuka akses ke Batam, Singapura, dan Malaysia, menyebabkan perekonomian terus bergerak dan pembangunan rumah, gedung-gedung tinggi tak terhentikan, sehingga sekarang Kuala Tungkal dipenuhi deretan bangunan rumah beton.
Pertanyaannya, setelah lima puluh tahun lebih saya tidak pernah pulang ke Kuala Tungkal, apakah tradisi hantaran berbuka puasa dan bersih-bersih rumah masih mampu dipertahankan?
Jangan-jangan dua tradisi itu telah bertransformasi atau justeru membusuk bersamaan dengan perkembangan pesat Kuala Tungkal?
Dalam konteks ini, saya teringat kembali lontaran gagasan  Umar Kayam:  transformasi menunjukkan bahwa masyarakat, dibayangkan pada suatu masa, pada suatu ketika, berubah atau menghendaki perubahan yang berakhir (sementara) dengan suatu status transformasi.Â
Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat (termasuk masyarakat Kuala Tungkal) pada suatu saat bisa saja meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa acapkali tradisi tergerus oleh perkembangan zaman, pembangunan, dan kemajuan teknologi/mekanisasi.Â
Bukankah hal yang lumrah jika suatu masyarakat dalam peralihan  dan pembaruan (dari masyarakat tradisi agraris ke modernisasi), umumnya mengejawantahkan (meminjam istilah Fuad Hassan) kejutan-kejutan mental karena belum tentu proses  tersebut bisa berlangsung dengan luwes dan tenang?
Semoga kearifan lokalitas masyarakat Kuala Tungkal, Jambi (termasuk tradisi hantaran berbuka puasa dan bersih-bersih rumah) masih terjaga dan mampu menjadi  warna kehidupan yang khas, tidak terlindas oleh kemajuan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H