Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Puisi: Jalan Pilihan Tiga Penyair Yogya

23 Maret 2024   14:29 Diperbarui: 23 Maret 2024   17:00 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kata-kata gagal merangkum sejuta sepi
kabur membiaskan segala senyap
dan kita penyuka luka yang berbahagia
bersama sejuta alasan memeluk sunyi

Dan kuharap kantuk itu datang
bukan dari dongengmu, bukan dari mantra
namun bahwa ini waktu bagi malam menjagaku
telah kuundang agar lindap di pelupukku
namun katanya, "maaf, sudah kau hitungkah bintang di langit?"

Penggalan puisi "Sunyi Sekelat Kopi" (Yuliani Kumusdawari) mampu menggambarkan kenangan, kesepian, kesunyian, kerinduan yang begitu komplek.

Catatan Simon HT/Foto: Hermard
Catatan Simon HT/Foto: Hermard
Maka tak salah jika Simon HT (tokoh teater) menilai puisi-puisi penyair kelahiran Bandung ini, mempunyai dua sosok. Sosok pertama merasa bahwa dia berada dalam situasi yang sebenarnya tidak diinginkan. Di sisi lain, sosok kedua, mencoba memberi pembenaran terhadap situasi-situasi itu. 

Hebatnya, di konflik pribadi itu terjadi tanpa bentrok. Sebentar merasa terkungkung, tapi sebentar kemudian dapat menerima keadaan itu. Tetapi pemicunya selalu situasi alam: malam, siang, meskipun nanti masalahnya kembali ke persoalan hening, sunyi, gelap. 

Artinya ada dua kepribadian dalam puisi-puisi Yuliani: masa lalu yang sesungguhnya menginginkan tidak seperti sekarang dan  masa kini yang mencoba menenangkan bahwa inilah kebahagiaan itu.

Saat membaca puisi-puisi Yuliani, kita tiba-tiba akan merasa hening, senyap, sunyi, rindu, dengan persoalan yang cukup dalam.

Situasi tersebut berbeda dengan puisi-pusi Fauzi Absal yang bergerak dalam konflik masa lalu dan dunia kekinian yang bergemuruh. 

Dalam puisi "Sketsa Puitika", ia mencoba melihat bahwa hidup itu damai-damai saja. Meskipun kemudian ada upaya menyesuaikan diri dengan zaman, tetapi ada hambatan-hambatan bagi generasi tua seusia Fauzi. Akhirnya penyair ini menghibur diri dengan memelihara mimpi di dalam dirinya.

Saat memberi catatan atas puisi Marjuddin Suaeb, Simon HT menekankan bahwa puisi Marjuddin merekam keresahan dengan berbagai wacana yang berkembang dalam masyarakat. Tetapi keresahan-keresahan itu  ditutup dengan jalan religius yang dipercaya sebagai jalan kebenaran.

Jalan Puisi/Foto: Hermard
Jalan Puisi/Foto: Hermard
Kesetiaan Fauzi Absal (73) dan Marjuddin Suaeb (70) yang tak kepalang tanggung terhadap puisi selama puluhun tahun, menyebabkan Ons Untoro berinisiatif menerbitkan puisi-puisi penyair kawakan ini. Ditambah dengan puisi-puisi  karya Yuliani Kumudaswari, penyair perempuan yang terus berkiprah di Sastra Bulan Purnama.

"Mereka merupakan penyair sejati karena tak pernah berhenti menulis puisi. Kapan pun diminta, mereka selalu siap dengan karya-karya terbaru. Proses kreatif mereka terus terasah sampai hari ini," ungkap Ons, koordinator Sastra Bulan Purnama.

Tidak dapat disangkal jika Fauzi (pengrajin sepatu), Marjuddin (petani), dan Yuliani (ibu rumah tangga) begitu teguh terhadap puisi dan meyakini puisi merupakan jalan menemukan makna hidup sesungguhnya. Jadi tidak salah  jika buku kumpulan puisi yang diluncurkan dalam kegiatan Sastra Bulan Purnama, edisi 150, di Museum Sandi (22/3/2024)  diberi judul Jalan yang Dipilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun